Daulah Bani Abbasiyah (132 – 232 H /
749 – 879 M)
BANI ABBASIYAH
1. Pembangunan Daulah Bani Abbasiyah
Daulah Bani Abbasiyah diambil dari
nama Al-Abbas bin Abdul Mutholib, paman Nabi Muhammad SAW. Pendirinya ialah
Abdullah As-Saffah bin Ali bin Abdullah bin Al-Abbas, atau lebih dikenal dengan
sebutan Abul Abbas As-Saffah. Daulah Bani Abbasiyah berdiri antara tahun 132 –
656 H / 750 – 1258 M. Lima setengah abad lamanya keluarga Abbasiyah menduduki
singgasana khilafah Islamiyah. Pusat pemerintahannya di kota Baghdad.
Tokoh pendiri Daulah Bani Abbasiyah
adalah ; Abul Abbas As-Saffah, Abu Ja’far Al-Mansur, Ibrahim Al-Imam dan Abu
Muslim Al-Khurasani. Bani Abbasiyah mempunyai kholifah sebanyak 37 orang. Dari
masa pemerintahan Abul Abbas As-Saffah sampai Kholifah Al-Watsiq Billah agama
Islam mencapai zaman keemasan (132 – 232 H / 749 – 879 M). Dan pada masa
kholifah Al-Mutawakkil sampai dengan Al-Mu’tashim, Islam mengalami masa
kemunduran dan keruntuhan akibat serangan bangsa Mongol Tartar pimpinan Hulakho
Khan pada tahun 656 H / 1258 M.[9]
2. Peta Daerah Perkembangan Islam
Pada Masa Bani Abbasiyah
Pemerintahan daulah Bani Abbasiyah
merupakan kelanjutan dari pemerintahan daulah Bani Umayyah yang telah hancur di
Damaskus. Meskipun demikian, terdapat perbedaan antara kekuasaan dinasti Bani
Abbasiyah dengan kekuasaan dinasti Bani Umayyah, diantaranya adalah :
a. Dinasti Umayyah sangat bersifat
Arab Oriented, artinya dalam segala hal para pejabatnya berasal dari keturunan
Arab murni, begitu pula corak peradaban yang dihasilkan pada dinasti ini.
b. Dinasti Abbasiyah, disamping
bersifat Arab murni, juga sedikit banyak telah terpengaruh dengan corak
pemikiran dan peradaban Persia, Romawi Timur, Mesir dan sebagainya.
Pada masa pemerintahan dinasti
Abbasiyah, luas wilayah kekuasaan Islam semakin bertambah, meliputi wilayah
yang telah dikuasai Bani Umayyah, antara lain Hijaz, Yaman Utara dan Selatan,
Oman, Kuwait, Irak, Iran (Persia), Yordania, Palestina, Lebanon, Mesir,
Tunisia, Al-Jazair, Maroko, Spanyol, Afganistan dan Pakistan, dan meluas sampai
ke Turki, Cina dan juga India.[10]
3. Bentuk-Bentuk Peradaban Islam
Pada Masa Daulah Abbasiyah
Masa pemerintahan Dinasti Abbasiyah
merupakan masa kejayaan Islam dalam berbagai bidang, khususnya dalam bidang
ilmu pengetahuan dan kebudayaan. Pada zaman ini, umat Islam telah banyak
melakukan kajian kritis terhadap ilmu pengetahuan, yaitu melalui upaya
penterjemahan karya-karya terdahulu dan juga melakukan riset tersendiri yang
dilakukan oleh para ahli. Kebangkitan ilmiyah pada zaman ini terbagi di dalam
tiga lapangan, yaitu : kegiatan menyusun buku-buku ilmiah, mengatur ilmu-ilmu
Islam dan penerjemahan dari bahasa asing.[11]
Setelah tercapai kemenangan di medan
perang, tokoh-tokoh tentara membukakan jalan kepada anggota-anggota pemerintahan,
keuangan, undang-undang dan berbagai ilmu pengetahuan untuk bergiat di lapangan
masing-masing. Dengan demikian muncullah pada zaman itu sekelompok
penyair-penyair handalan, filosof-filosof, ahli-ahli sejarah, ahli-ahli ilmu
hisab, tokoh-tokoh agama dan pujangga-pujangga yang memperkaya perbendaharaan
bahasa Arab. [12]
Adapun bentuk-bentuk peradaban Islam
pada masa daulah Bani Abbasiyah adalah sebagai berikut :
a. Kota-Kota Pusat Peradaban
Di antara kota pusat peradaban pada
masa dinasti Abbasiyah adalah Baghdad dan Samarra. Bangdad merupakan ibu kota
negara kerajaan Abbasiyah yang didirikan Kholifah Abu Ja’far Al-Mansur (754-775
M) pada tahun 762 M. Sejak awal berdirinya, kota ini sudah menjadi pusat
peradaban dan kebangkitan ilmu pengetahuan. Ke kota inilah para ahli ilmu
pengetahuan datang beramai-ramai untuk belajar. Sedangkan kota Samarra terletak
di sebelah timur sungai Tigris, yang berjarak + 60 km dari kota Baghdad. Di
dalamnya terdapat 17 istana mungil yang menjadi contoh seni bangunan Islam di
kota-kota lain.[13]
b. Bidang Pemerintahan
Pada masa Abbasiyah I (750-847 M),
kekuasaan kholifah sebagai kepala negara sangat terasa sekali dan benar seorang
kholifah adalah penguasa tertinggi dan mengatur segala urusan negara. Sedang
masa Abbasiyah II 847-946 M) kekuasaan kholifah sedikit menurun, sebab Wazir
(perdana mentri) telah mulai memiliki andil dalam urusan negara. Dan pada masa
Abbasiyah III (946-1055 M) dan IV (1055-1258 M), kholifah menjadi boneka saja,
karena para gubernur di daerah-daerah telah menempatkan diri mereka sebagai
penguasa kecil yang berkuasa penuh. Dengan demikian pemerintah pusat tidak ada
apa-apanya lagi.
Dalam pembagian wilayah (propinsi),
pemerintahan Bani Abbasiyah menamakannya dengan Imaraat, gubernurnya bergelar
Amir/ Hakim. Imaraat saat itu ada tiga macam, yaitu ; Imaraat Al-Istikhfa,
Al-Amaarah Al-Khassah dan Imaarat Al-Istilau. Kepada wilayah/imaraat ini diberi
hak-hak otonomi terbatas, sedangkan desa/ al-Qura dengan kepala desanya
as-Syaikh al-Qoryah diberi otonomi penuh.
Selain hal tersebut di atas, dinasti
Abbasiyah juga telah membentuk angkatan perang yang kuat di bawah panglima,
sehingga kholifah tidak turun langsung dalam menangani tentara. Kholifah juga
membentuk Baitul Mal/ Departemen Keuangan untuk mengatur keuangan negara
khususnya. Di samping itu juga kholifah membentuk badan peradilan, guna
membantu kholifah dalam urusan hukum.[14]
c. Bangunan Tempat Pendidikan dan
Peribadatan
Di antara bentuk bangunan yang
dijadikan sebagai lembaga pendidikan adalah madrasah. Madrasah yang terkenal
saat itu adalah Madrasah Nizamiyah, yang didirikan di Baghdad, Isfahan,
Nisabur, Basrah, Tabaristan, Hara dan Musol oleh Nizam al-Mulk seorang perdana
menteri pada tahun 456 – 486 H. selain madrasah, terdapat juga Kuttab, sebagai
lembaga pendidikan dasar dan menengah, Majlis Muhadhoroh sebagai tempat
pertemuan dan diskusi para ilmuan, serta Darul Hikmah sebagai
perpustakaan.
Di samping itu, terdapat juga
bangunan berupa tempat-tempat peribadatan, seperti masjid. Masjid saat itu
tidak hanya berfungsi sebagai tempat pelaksanaan ibadah sholat, tetapi juga
sebagai tempat pendidikan tingkat tinggi dan takhassus. Di antara masjid-masjid
tersebut adalah masjid Cordova, Ibnu Toulun, Al-Azhar dan lain
sebagainya.[15]
d. Bidang Ilmu Pengetahuan
Ilmu pengetahuan pada masa Daulah
Bani Abbasiyah terdiri dari ilmu naqli dan ilmu ‘aqli. Ilmu naqli terdiri dari
Ilmu Tafsir, Ilmu Hadits Ilmu Fiqih, Ilmu Kalam, Ilmu Tasawwuf dan Ilmu Bahasa.
Adapaun ilmu ‘aqli seperti : Ilmu Kedokteran, Ilmu Perbintangan, Ilmu Kimia,
Ilmu Pasti, Logika, Filsafat dan Geografi.[16]
4. Kemunduran Daulah Bani Abbasiyah
Kehancuran Dinasti Abbasiyah ini
tidak erjadi dengan cara spontanitas, melainkan melalui proses yang panjang
yang diawali oleh berbagai pemeberontakan dari kelompok yang tidak senang
terhadap kepemimpinan kholifah Abbasiyah. Disamping itu juga, kelemahan
kedudukan kekholifahan dinasti Abbasiyah di Baghdad, disebabkan oleh luasnya
wilayah kekuasaan yang kurang terkendali, sehingga menimbulkan disintegrasi
wilayah.
Di antara kelemahan yang menyebabkan
kemunduran Dinasti Abbasiyah adalah sebagai berikut :
a.
Mayoritas
Kholifah Abbasiyah periode akhir lebih mementingkan urusan pribadinya dan
cenderung hidup mewah.
b.
Luasnya
wilayah kekuasaan Abbasiyah, sementara komunikasi pusat dengan daerah sulit
dilakukan.
c.
Ketergantungan
kepada tentara bayaran.
d.
Semakin
kuatnya pengaruh keturunan Turki dan Persia, yang menimbulkan kecemburuan bagi
bangsa Arab murni.
e.
Permusuhan
antara kelompok suku dan agama.
f.
Perang
Salib yang berlangsung beberapa gelombang dan menelan banyak korban.
g.
Penyerbuan
tentara Mongol di bawah pimpinan Panglima Hulagu Khan yang menghacur leburkan
kota Baghdad.
Masa Daulah
Abbasiyah adalah masa keemasan Islam, atau sering disebut dengan istilah ‘’The
Golden Age’’. Pada masa itu Umat Islam telah mencapai puncak kemuliaan, baik
dalam bidang ekonomi, peradaban dan kekuasaan. Selain itu juga telah berkembang
berbagai cabang ilmu pengetahuan, ditambah lagi dengan banyaknya penerjemahan
buku-buku dari bahasa asing ke bahasa Arab. Fenomena ini kemudian yang
melahirkan cendikiawan-cendikiawan besar yang menghasilkan berbagai inovasi
baru di berbagai disiplin ilmu pengetahuan. Bani Abbas mewarisi imperium besar
Bani Umayah. Hal ini memungkinkan mereka dapat mencapai hasil lebih banyak,
karena landasannya telah dipersiapkan oleh Daulah Bani Umayah yang besar.
Menjelang
tumbangnya Daulah Umayah telah terjadi banyak kekacauan dalam berbagai bidang
kehidupan bernegara; terjadi kekeliruan-kekeliruan dan kesalahan-kesalahan yang
dibuat oleh para Khalifah dan para pembesar negara lainnya sehingga terjadilah
pelanggaran-pelanggaran terhadap ajaran Islam. Di antara kesalahan-kesalahan
dan kekeliruan-kekeliruan yang dibuat adalah :
1.
Politik
kepegawaian didasarkan pada klan, golongan, suku, kaum dan kawan.
2.
Penindasan
yang terus-menerus terhadap pengikut-pengikut Ali RA pada khususnya dan
terhadap Bani Hasyim pada umumnya.
3.
Penganggapan
rendah terhadap kaum muslimin yang bukan bangsa Arab, sehingga mereka tidak
diberi kesempatan dalam pemerintahan.
4.
Pelanggaran
terhadap ajaran Islam dan hak-hak asasi manusia dengan cara yang
terang-terangan. [1]
Bani Abbas
telah mulai melakukan upaya perebutan kekuasaan sejak masa Khalifah Umar bin
Abdul Aziz (717-720 M) berkuasa. Khalifah itu dikenal liberal dan memberikan
toleransi kepada berbagai kegiatan keluarga Syiah.[2] Keturunan Bani Hasyim dan
Bani Abbas yang ditindas oleh Daulah Umayah bergerak mencari jalan bebas,
dimana mereka mendirikan gerakan rahasia untuk menumbangkan Daulah Umayah dan
membangun Daulah Abbasiyah. Gerakan ini didahului oleh keturunan Bani Abbas,
seperti Ali bin Abdullah bin Abbas, Muhammad serta Ibrahim.[3]
Di bawah
pimpinan Imam mereka Muhammad bin Ali Al-Abbasy mereka bergerak dalam dua fase,
yaitu fase sangat rahasia dan fase terang-terangan dan pertempuran.[4]
Selama Imam
Muhammad masih hidup gerakan dilakukan sangat rahasia. Propaganda dikirim ke
seluruh pelosok negara, dan mendapat pengikut yang banyak, terutama dari
golongan-golongan yang merasa ditindas, bahkan juga dari golongan-golongan yang
pada mulanya mendukung Daulah Umayah Setelah Imam Muhammad meninggal dan
diganti oleh anaknya Ibrahim, pada masanya inilah bergabung seorang pemuda
berdarah Persia yang gagah berani dan cerdas dalam gerakan rahasia ini yang bernama
Abu Muslim Al-Khurasani.
Semenjak
masuknya Abu Muslim ke dalam gerakan rahasia Abbasiyah ini, maka dimulailah
gerakan dengan cara terang-terangan, kemudian cara pertempuran, dan akhirnya
dengan dalih ingin mengembalikan keturunan Ali ke atas singgasana kekhalifahan,
Abu Abbas pimpinan gerakan tersebut berhasil menarik dukungan kaum Syiah dalam
mengobarkan perlawanan terhadap kekhalifahan Umayah. Abu Abbas kemudian memulai
makar dengan melakukan pembunuhan sampai tuntas semua keluarga Khalifah, yang
waktu itu dipegang oleh Khalifah Marwan II bin Muhammad. Begitu dahsyatnya
pembunuhan itu sampai Abu Abbas menyebut dirinya sang pengalir darah atau
As-Saffar.[5] Maka bertepatan pada bulan Zulhijjah 132 H (750 M) dengan
terbunuhnya Khalifah Marwan II di Fusthath, Mesir dan maka resmilah berdiri
Daulah Abbasiyah.
Dalam peristiwa tersebut salah
seorang pewaris takhta kekhalifahan Umayah, yaitu Abdurrahman yang baru berumur
20 tahun, berhasil meloloskan diri ke daratan Spanyol. Tokoh inilah yang
kemudian berhasil menyusun kembali kekuatan Bani Umayah di seberang lautan,
yaitu di keamiran Cordova. Di sana dia berhasil mengembalikan kejayaan
kekhalifahan Umayah dengan nama kekhalifahan Andalusia [6]
B. Tiga Dinasti dalam Daulah
Abbasiyah
Pada awalnya kekhalifahan Daulah
Abbasiyah menggunakan Kufah sebagai pusat pemerintahan, dengan Abu Abbas
As-Safah (750-754 M) sebagai Khalifah pertama. Kemudian Khalifah penggantinya
Abu Jakfar Al-Mansur (754-775 M) memindahkan pusat pemerintahan ke Baghdad. Di
kota Baghdad ini kemudian akan lahir sebuah imperium besar yang akan menguasai
dunia lebih dari lima abad lamanya. Imperium ini dikenal dengan nama Daulah
Abbasiyah.
Dalam beberapa
hal Daulah Abbasiyah memiliki kesamaan dan perbedaan dengan Daulah Umayah.
Seperti yang terjadi pada masa Daulah Umayah, misalnya, para bangsawan Daulah
Abbasiyah cenderung hidup mewah dan bergelimang harta. Mereka gemar memelihara
budak belian serta istri peliharaan (harem). Kehidupan lebih cenderung pada
kehidupan duniawi ketimbang mengembangkan nilai-nilai agama Islam. Namun tidak
dapat disangkal sebagian khalifah memiliki selera seni yang tinggi serta taat
beragama. Tidak berlebihan kalau dikatakan bahwa Daulah Abbasiyah mengalami
pergeseran dalam mengembangkan pemerintahan. Sehingga dapatlah dikelompokkan
masa Daulah Abbasiyah menjadi lima periode sehubungan dengan corak
pemerintahan. Sedangkan menurut asal usul penguasa selama masa 508 tahun Daulah
Abbasiyah mengalami tiga kali pergantian penguasa. Yaitu Bani Abbas, Bani
Buwaihi, dan Bani Saljuk, seperti tersebut di bawah ini. Kenyataan itu
menunjukkan bahwa masa pemerintahan itu diwarnai oleh intrik istana maupun
perebutan kekuasaan secara internal. [7]
a.
Bani
Abbas (750-932 M)
1.
Khalifah
Abu Abbas As-Safah (750-754 M)
2.
Khalifah
Abu Jakfar al-Mansur (754-775 M)
3.
Khalifah
Al-Mahdi (775-785 M)
4.
Khalifah
Al-Hadi (785-786 M)
5.
Khalifah
Harun Al-Rasyid (786-809 M)
6.
Khalifah
Al-Amin (809-813 M)
7.
Khalifah
Al-Makmun (813-833 M)
8.
Khalifah
Al-Muktasim (833-842 M)
9.
Khalifah
Al-Wasiq (842-847 M)
10.
Khalifah
Al-Mutawakkil (847-861 M)
11.
Khalifah
Al-Muntasir (861-862 M)
12.
Khalifah
Al-Mustain (862-866 M)
13.
Khalifah
Al-Muktazz (866-869 M)
14.
Khalifah
Al-Muhtadi (869-870 M)
15.
Khalifah
Al-Muktamid (870-892 M)
16.
Khalifah
Al-Muktadid (892-902 M)
17.
Khalifah
Al-Muktafi (902-908 M)
18.
Khalifah
Al-Muktadir (908-932 M)
C. Periodisasi dalam Daulah
Abbasiyah
a. Periode pertama (750-847 M)
Diawali dengan tangan besi
Sebagaimana kita ketahui bersama
bahwa pendiri dari Daulah Abbasiyah ini adalah Abu Abbas As-Safah. Di awal
pemerintahannya untuk mengukuhkan eksistensi kekhalifahan Daulah Abbasiyah,
maka Abu Abbas menerapkan kebijakan-kebijakan yang cukup tegas, kebijakan itu
adalah memusnahkan anggota keluarga daulah Bani Umayah, serta menggunakan suatu
agen rahasia yang berfungsi untuk mengawasi gerak dan gerik keturunan Bani
Umayah, bila perlu membunuhnya. Koordinator pelenyapan keluarga Bani Umayah itu
diserahkan kepada Abdullah pamannya Abu Abbas.[8]
Perlakuan kejam itu tidak hanya
kepada orang-orang Umayah yang masih hidup, melainkan juga kepada mereka yang
sudah meninggal, dengan cara mengeluarkan jenazah mereka dan membakarnya.
Sedangkan makam yang tidak digali, adalah makam Muawiyah bin Abi Sufyan dan
Umar bin Abdul Aziz.[9] Sehingga akhirnya menimbulkan banyak pemberontakan,
namun pemberontakan-pemberontakan yang ada dapat dipatahkan oleh Abu Abbas.
Setelah Abu Abbas meninggal dia diganti oleh Abu Jakfar Al-Mansur (754-775 M)
Abu Jakfar Al-Mansur adalah Khalifah
Daulah Abbasiyah yang dikenal paling kejam. Namun dialah yang paling berjasa
dalam mengkonsolidasikan dinasti Abbasiyah sehingga menjadi kuat dan kokoh, dia
meletakkan dasar-dasar pemerintahan bani Abbasiyah dan tidak-segan-segan
melakukan tindakan tegas kepada pihak-pihak yang mengganggu
pemerintahannya.[10]
Untuk menunjang langkah menuju masa
kejayaan beberapa kebijakan penting yang diambil oleh Al-Mansur yaitu
memindahkan ibukota dari Kuffah ke Baghdad, sebuah kota indah yang terdapat di
tepi aliran sungai Tigris dan Eufrat. Sementara itu perbaikan juga dilakukan di
bidang administrasi pemerintahan yang disusun secara baik dan pengawasan
terhadap berbagai kegiatan pemerintah diperketat. Petugas pos-pos komunikasi
dan surat-menyurat ditingkatkan fungsinya menjadi lembaga pengawas terhadap
para gubernur. Hal ini dilakukan untuk mengantisipasi kemungkinan terjadinya
gerakan separatis dan pemberontakan. Tak urung gejala pemberontakan itu memang
muncul di mana-mana, misalnya beberapa daerah taklukan melepaskan diri. Namun
demikian pemberontakan-pemberontakan yang ada dapat dipatahkan oleh Khalifah
Abu Jakfar Al-Mansur. Selain itu salah satu kebijakan Al-Mansur adalah
melakukan invasi dan perluasan daerah kekuasaan, antara lain ke wilayah
Armenia, Mesisah, Andalusia dan Afrika.
Kalau
dasar-dasar pemerintahan Daulah Abbasiyah ini telah diletakkan dan dibangun
oleh Abu Abbas As-Safah dan Abu Jakfar Al-Mansur, maka puncak keemasan dinasti
itu berada pada tujuh Khalifah sesudahnya. Sejak masa Khalifah Al-Mahdi
(775-785) hingga Khalifah Al-Wasiq (842-847 M).[11]
Pergeseran Kebijakan
Puncak popularitas
daulah ini berada pada zaman Khalifah Harun Al-Rasyid (786-809 M) dan putranya
Al-Makmun (813-833 M). Kedua penguasa ini lebih menekankan pada pengembangan
peradaban dan kebudayaan Islam ketimbang perluasan wilayah seperti pada masa
Daulah Umayah. Orientasi pada pembangunan peradaban dan kebudayaan ini menjadi
unsur pembeda lainnya antara dinasti Abbasiyah dan dinasti Umayah yang lebih
mementingkan perluasan daerah. Akibat kebijakan yang diambil ini,
provinsi-provinsi terpencil di pinggiran mulai terlepas dari genggaman
mereka.[12]
Ada dua
kecenderungan yang terjadi. Pertama, seorang pemimpin lokal memimpin suatu
pemberontakan yang berhasil menegakkan kemerdekaan penuh seperti Daulah Umayah
di Andalusia (Spanyol) dan Idrisiyah (Bani Idris) di Marokko. Cara kedua, yaitu
ketika orang yang ditunjuk menjadi gubernur oleh Khalifah manjadi sangat kuat,
seperti Daulah Aglabiah (Bani Taglib) di Tunisia dan Tahiriyah di Khurasan.[13]
Pada zaman
Al-Mahdi, perekonomian meningkat. Irigasi yang dibangun membuat hasil pertanian
berlipat ganda dibanding sebelumnya. Pertambangan dan sumber-sumber alam
bertambah dan demikian pula perdagangan internasional ke timur dan ke barat
dipergiat. Kota Basra menjadi pelabuhan transit yang penting yang serba
lengkap.[14]
Tingkat kemakmuran
yang paling tinggi adalah pada zaman Harun Al-Rasyid. Masa itu berlangsung
sampai dengan masa Al-Makmun. Al-Makmun menonjol dalam hal gerakan intelektual
dan ilmu pengetahuan dengan menerjemahkan buku-buku dari Yunani.
Kecenderungan
orang-orang muslim secara sukarela sebagai anggota milisi mengikuti perjalanan
perang sudah tidak lagi terdengar. Ketentaraan kemudian terdiri dari
prajurit-prajurit Turki yang profesional. Militer Daulah Bani Abbasiyah menjadi
sangat kuat. Akibatnya, tentara itu menjadi sangat dominan sehingga Khalifah
berikutnya sangat dipengaruhi atau menjadi boneka mereka.
Sebagai respon
dari kenyataan tersebut Khalifah Al-Wasiq (842-847 M) mencoba melepaskan diri
dari dominasi tentara Turki tersebut dengan memindahkan ibukota ke Samarra,
tetapi usaha itu tidak berhasil mengurangi dominasi tentara Turki.
Salah satu
faktor penting yang merupakan penyebab Daulah Abbasiyah pada periode pertama
ini berhasil mencapai masa keemasan ialah terjadinya asimilasi dalam Daulah
Abbasiyah ini. Berpartisipasinya unsur-unsur non Arab, terutama bangsa Persia,
dalam pembinaan peradaban Baitul Hikmah dan Darul Hikmah yang didirikan oleh
Khalifah Harun Al-Rasyid dan mencapai puncaknya pada masa Khalifah Al-Makmun.
Pada masa itu
perpustakaan-perpustakaan tampaknya lebih menyerupai sebuah universitas
ketimbang sebuah taman bacaan. Orang-orang datang ke perpustakaan itu untuk
membaca, menulis, dan berdiskusi. Di samping itu, perpustakaan ini juga
berfungsi sebagai pusat penerjemahan. Tercatat kegiatan yang paling menonjol
adalah terhadap buku-buku kedokteran, filsafat, matematika, kimia, astronomi
dan ilmu alam. Di masa-masa berikutnya para ilmuwan Islam bahkan mampu
mengembangkan dan melakukan inovasi dan penemuan sendiri. Di sinilah letak
sumbangan Islam terhadap ilmu dan peradaban dunia.
Zaman Keemasan
Kekhalifahan Bani Abbas biasa
dikaitkan dengan Khalifah Harun Al-Rasyid, yang digambarkan sebagai Khalifah
yang paling terkenal dalam zaman keemasan kekhalifahan Bani Abbasiyah. Dalam
memerintah Khalifah digambarkan sangat bijaksana, yang selalu didampingi oleh
penasihatnya, Abu Nawas, seorang penyair yang kocak, yang sebenarnya adalah
seorang ahli hikmah atau filsuf etika. Zaman keemasan itu digambarkan dalam
kisah 1001 malam sebagai negeri penuh keajaiban.
Sebenarnya zaman keemasan Bani
Abbasiyah telah dimulai sejak pemerintahan pengganti Khalifah Abu Jakfar
Al-Mansur yaitu pada masa Khalifah Al-Mahdi (775-785 M) dan mencapai puncaknya
di masa pemerintahan Khalifah Harun Al-Rasyid.
Di masa-masa itu para Khalifah
mengembangkan berbagai jenis kesenian, terutama kesusasteraan pada khususnya
dan kebudayaan pada umumnya. Berbagai buku bermutu diterjemahkan dari peradaban
India maupun Yunani. Dari India misalnya, berhasil diterjemahkan buku-buku
Kalilah dan Dimnah maupun berbagai cerita Fabel yang bersifat anonim. Berbagai
dalil dan dasar matematika juga diperoleh dari terjemahan yang berasal dari
India. Selain itu juga diterjemahkan buku-buku filsafat dari Yunani, terutama
filsafat etika dan logika. Salah satu akibatnya adalah berkembangnya aliran
pemikiran muktazilah yang amat mengandalkan kemampuan rasio dan logika dalam
dunia Islam. Sedangkan dari sastera Persia terjemahan dilakukan oleh Ibnu
Mukaffa, yang meninggal pada tahun 750 M. Pada masa itu juga hidup budayawan
dan sastrawan masyhur seperti Abu Tammam (meninggal 845 M), Al-Jahiz (meninggal
869 M), Abul Faraj (meninggal 967 M) dan beberapa sastrawan besar lainnya.[15]
Kemajuan ilmu pengetahuan bukan
hanya pada bidang sastra dan seni saja juga berkembang , meminjam istilah Ibnu
Rusyd, Ilmu-ilmu Naqli dan Ilmu Aqli. Ilmu-ilmu Naqli seperti Tafsir, Teologi,
Hadis, Fiqih, Ushul Fiqh dan lain-lain. Dan juga berkembang ilmu-ilmu Aqli
seperti Astronomi, Matematika, Kimia, Bahasa, Sejarah, Ilmu Alam, Geografi,
Kedokteran dan lain sebagainya. Perkembangan ini memunculkan tokoh-tokoh besar
dalam sejarah ilmu pengetahuan, dalam ilmu bahasa muncul antara lain Ibnu Malik
At-Thai seorang pengarang buku nahwu yang sangat terkenal Alfiyah Ibnu malik,
dalam bidang sejarah muncul sejarawan besar Ibnu Khaldun serta tokoh-tokoh
besar lainnya yang memiliki pengaruh yang besar bagi perkembangan ilmu
pengetahuan selanjutnya.
b. Periode kedua (847-945 M)[16]
Kebijakan Khalifah Al-Muktasim
(833-842 M) untuk memilih unsur-unsur Turki dalam ketentaraan Kekhalifahan
Daulah Abbasiyah terutama dilatar belakangi oleh adanya persaingan antara
golongan Arab dan Persia pada masa Al-Makmun dan sebelumnya. Di masa
Al-Muktasim (833-842 M) dan Khalifah sesudahnya Al-Wasiq (842-847 M), mereka
mampu mengendalikan unsur-unsur Turki tersebut. Akan tetapi, Khalifah
Al-Mutawakkil (847-861 M) yang merupakan awal dari periode ini adalah seorang
Khalifah yang lemah. Pada masanya orang-orang Turki dapat merebut kekuasaan
dengan cepat setelah Al-Mutawakkil wafat. Mereka telah memilih dan mengangkat
Khalifah sesuai kehendak mereka. Dengan demikian Bani Abbasiyah tidak lagi
mempunyai kekuatan dan kekuasaan, meskipun resminya mereka adalah penguasa.
Usaha untuk melepaskan dari dominasi Turki selalu mengalami kegagalan. Pada
tahun 892 M, Baghdad kembali menjadi Ibukota. Sementara kehidupan intelektual
terus berkembang.
Akibat adanya persaingan internal di
kalangan tentara Turki, mereka memang mulai melemah. Mulailah Khalifah Ar-Radi
menyerahkan kekuasaan kepada Muhammad bin Raiq, Gubernur wasit dari Basra. Di
samping itu, Khalifah memberinya gelar Amirul Umara (Panglima para panglima).
Meskipun demikian, keadaan Bani Abbas tidak menjadi lebih baik. Dari dua belas
Khalifah pada periode ini, hanya empat orang yang wafat dengan wajar,
selebihnya, kalau tidak dibunuh, mereka digulingkan dengan paksa.
Pemberontakan masih bermunculan pada
periode ini, seperti pemberontakan Zanj di dataran rendah Irak Selatan dan
pemberontakan Karamitah yang berpusat di Bahrain. Namun bukan itu semua yang
menghambat upaya mewujudkan kesatuan politik Daulah Abbasiyah. Faktor-faktor
penting yang menyebabkan kemunduran Bani Abbas pada periode ini adalah sebagai
berikut, pertama, luasnya wilayah kekuasaan Daulah Abbasiyyah yang harus
dikendalikan, sementara komunikasi lambat. Berbarengan dengan itu kadar saling
percaya di kalangan para penguasa dan pelaksana pemerintahan sangat rendah,
Yang kedua, profesionalisasi tentara menyebabkan ketergantungan kepada mereka
menjadi sangat tinggi. Ketiga, kesulitan keuangan karena beban pembiayaan
tentara sangat besar. Setelah kekuatan militer merosot, Khalifah tidak sanggup
lagi memaksa pengiriman pajak ke Baghdad.
c. Periode Ketiga (945-1055 M)
Posisi Daulah Abbasiyah yang berada
di bawah kekuasaan Bani Buwaihi merupakan ciri utama dari periode ketiga ini.
Keadaan Khalifah lebih buruk ketimbang di masa sebelumnya, lebih-lebih karena
Bani Buwaihi menganut aliran Syiah. Akibatnya kedudukan Khalifah tidak lebih
sebagai pegawai yang diperintah dan diberi gaji. Sementara itu Bani Buwaihi
telah membagi kekuasaannya kepada tiga bersaudara. Ali menguasai wilayah bagian
selatan negeri Persia, Hasan menguasai wilayah bagian utara, dan Ahmad
menguasai wilayah Al-Ahwaz, Wasit dan Baghdad. Dengan demikian Baghdad pada
periode ini tidak lagi menjadi pusat pemerintahan Islam, karena telah dipindah
ke Syiraz di mana berkuasa Ali bin Buwaihi yang memiliki kekuasaan Bani
Buwaihi.
Dalam bidang ilmu pengetahuan,
Daulah Abbasiyah masih terus mengalami kemajuan pada periode ini. Pada masa
inilah muncul pemikir-pemikir besar seperti Al-Farabi (870-950 M), Ibnu Sina
(980-1037 M), Al-Biruni (973-1048 M), Ibnu Misykawaih (930-1030 M) dan kelompok
studi Ikhwan As-Safa. Bidang ekonomi, pertanian, dan perdagangan juga mengalami
kemajuan. Kemajuan itu juga diikuti dengan pembangunan kanal, mesjid dan rumah
sakit. Patut dicatat pula bahwa selama masa Bani Buwaihi berkuasa di Baghdad,
telah terjadi beberapa kali bentrokan sosial aliran ahlu sunnah dan syiah, dan
pemberontakan tentara.
d. Periode Keempat (1055-1199 M)
Periode keempat ini ditandai dengan
berkuasanya Bani Saljuk dalam Daulah Abbasiyah. Kehadiran Bani Saljuk ini
adalah atas ’’undangan’’ Khalifah untuk melumpuhkan kekuatan Bani Buwaihi di
baghdad. Keadaan Khalifah sudah mulai membaik, paling tidak kewibawaannya dalam
bidang agama sudah kembali setelah beberapa lama dikuasai orang-orang Syiah.
Seperti halnya pada periode
sebelumnya, ilmu pengetahuan juga berkembang dalam periode ini. Nizam Al-Mulk,
Perdana Menteri pada masa Alp Arselan dan Maliksyah, mendirikan Madrasah
Nizamiyah (1067 M) dan Madrasah Hanafiyah di Baghdad. Cabang-cabang Madrasah
Nizamiyah didirikan hampir di setiap kota di Irak dan Khurasan. Madrasah ini
menjadi model bagi perguruan tinggi di kemudian hari. Madrasah ini telah
melahirkan banyak cendikiawan dalam berbagai disiplin ilmu. Misalnya yang
dilahirkan dalam periode ini adalah Az-Zamakhsari, penulis dalam bidang Tafsir
dan Usul ad-dien (Teologi), Al-Ghazali dalam bidang ilmu kalam dan tasawuf, dan
Umar Khayyam dalam bidang ilmu perbintangan. Dalam bidang politik, pusat
kekuasaan juga tidak terletak di kota Baghdad. Mereka membagi wilayah kekuasaan
menjadi beberapa provinsi dengan seorang gubernur untuk mengepalai
masing-masing provinsi. Pada masa pusa kekuasaan melemah, masing-masing
provinsi memerdekakan diri. Konflik-konflik dan peperangan yang terjadi di
antara mereka melemahkan mereka sendiri, dan sedikrit demi sedikit kekuasaan
politik Khalifah menguat kembali, terutama untuk negeri Irak. Kekuasaan mereka
berakhir di Irak di tangan Khawarizmisyah pada tahun 1199 M.
e. Periode Kelima (1199-1258 M)
Telah terjadi perubahan
besar-besaran dalam kekhalifahan Daulah Abbasiyah dalam periode kelima ini.
Pada periode ini, Khalifah Abbasiyah tidak lagi berada di bawah dinasti
tertentu. Mereka merdeka dan berkuasa tetapi hanya di baghdad dan sekitarnya.
Sempitnya wilayah kekuasaan Khalifah menunjukkan kelemahan politiknya. Pada
masa inilah datang tentara Mongol dan Tartar menghancurkan Baghdad tanpa
perlawanan pada tahun 1258 M.
Faktor-faktor yang membuat Daulah
Abbasiyah menjadi lemah dan kemudian hancur dapat dikelompokkan menjadi dua
faktor yaitu faktor intern dan faktor ekstern. Di antara faktor-faktor intern
adalah, pertama, adanya persaingan tidak sehat di antara beberapa bangsa yang
terhimpun dalam Daulah Abbasiyah, terutama Arab, Persia dan Turki. Kedua,
terjadinya perselisihan pendapat di antara kelompok pemikiran agama yang ada,
yang berkembang menjadi pertumpahan darah. Ketiga, munculnya dinasti-dinasti
kecil sebagai akibat perpecahan sosial yang berkepanjangan. Keempat, terjadinya
kemerosotan tingkat perekonomian sebagai akibat dari bentrokan politik.
Sedangkan faktor-faktor ekstern yang
terjadi adalah, pertama, berlangsungnya perang salib yang berkepanjangan dalam
beberapa gelombang. Dan yang paling menentukan adalah faktor kedua yaitu,
adanya serbuan tentara Mongol dan Tartar yang dipimpin oleh Hulagu Khan, yang
berhasil menjarah semua pusat-pusat kekuasaan maupun pusat ilmu, yaitu
perpustakaan di Baghdad.
Kekejaman Bangsa Mongol[17]
Khalifah Al-Muktasim, Khalifah
Daulah Abbasiyah yang paling akhir, beserta seluruh putra-putranya dan semua
pembesar-pembesar kota Baghdad mati dibunuh semuanya oleh tentara Mongol.
Sebagian besar penduduk kota itu disembelih laksana binatang saja. Sesudah itu
mereka merampas harta benda penduduk dan melakukan perbuatan-perbuatan kejam
dab ganasnya tiada terperikan. Sekalian isi istana dan perbendaharaan negara
mereka rampas semuanya. Istana dan gedung-gedung yang indah, madrasah dan mesjid-mesjid
yang mengagumkan mereka rusak. Buku-buku pengetahuan yang tak ternilai
harganya, mereka lemparkan ke dalam sungai Tigris sehingga hitam lantaran tinta
yang luntur. Mereka membakar di sana-sini sehingga api mengamuk di seluruh
kota. Peristiwa kekejaman ini berlaku sampai 40 hari lamanya. Di atas bumi kota
Baghdad, tak ada lagi yang kelihatan, selain dari tumpukan bara hitam yang
masih berasap.
Daulah Abbasiyah Lenyap
Dengan kematian Al-Muktasim
lenyaplah Daulah Abbasiyah dari bumi ini, berkubur dalam bumi kota Baghdad yang
telah hangus di bawah runtuhan gedung-gedung dan istana.
Dalam masa lima abad lamanya, yakni
sejak dari Abu Abbas As-Safah memerintah pada 750 M sampai hari mangkatnya
Al-Muktasim pada 1258 M, telah ada 37 orang Khalifah menduduki singgasana
Daulah Abbasiyah.
Penutup
Masa Daulah Abbasiyah adalah masa
keemasan Islam, Pada masa ini kedaulatan umat Islam telah sampai ke puncak
kemuliaan, baik kekayaan, kemajuan ataupun kekuasaan. Pada zaman ini telah
lahir berbagai ilmu Islam dan berbagai ilmu penting telah diterjemahkan ke
dalam bahasa Arab. Selain itu sumbangan umat Islam bagi peradaban dunia juga
dihasilkan oleh para cendikiawan-cendikiawan besar yang hidup di masa Daulah
Abbasiyah ini. Namun ada pelajaran penting yang dapat kita petik dari
perjalanan panjang Daulah Abbasiyah yang selama berabad-abad menguasai dunia
yakni agar umat Islam jangan terlena dengan kekuasaan dunia, karena keterlenaan
dan hidup bermegah-megah menyebabkan kita jauh dari ajaran Allah SWT. Hal juga
merupakan pemicu bagi umat Islam untuk kembali bangkit merebut kejayaan Islam
yang pernah dirasakan pada masa Daulah Abbasiyah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar