TEORI PENDIDIKAN ISLAM
Halaman 35
Pokok pendidikan
Islam telah dikemukakan di Alqur’an, dan dinyatakan lebih rinci pada Hadis. Hal
ini membutuhkan lebih dari dua abad praktik untuk menjelaskan lebih rinci
tentang teori yang dirumuskan. Sebagian besar rumusan itu selalu mendekati
prinsip-prinsip awal yang lebih dulu dinyatakan dalam wahyu ilahi, akan tetapi
beberapa diantaranya dirancang memuat penyimpangan ideal dan merasionalisasikan
pembaharuan.
Mengutip dari buku karangan Syed Sajjad Husain dan Syed Ali Ashraf
dalam bukunya “ Crisis in Muslim Education” pada halaman 1 dijelaskan
bahwa pendidikan Islam adalah pendidikan yang mana mendidik akal murid sebagai
sebuah kebiasaan menjadi sikap dalam hidup, tindakan, dan pendekatan untuk seluruh
jenis pengetahuan yang diatur dengan nilai spiritual dan nilai etika dalam
islam.[1]
Selama kurun waktu yang lama, rumusan awal teori ini menghasilkan
pendapat publik sebagai gambaran yang buruk bahwa guru mengajar untuk
mendapatkan prestasi. Anekdot, peribahasa dan puisi menggambarkan guru sebagai
seseorang dengan kecerdasan rendah dan berpikiran sempit, serta objek kekerasan
dan penghinaan, hal seperti ini banyak terdapat dalam sejarah pedagogik Yunani.
Didalam buku Pedagogi Kritis: sejarah, perkembangan dan
pemikiran karya Rakhmat Hidayat disebutkan dari berbagai referensi
dijelaskan historis pedagogik dalam sejarah Yunani Kuno, fenomena ini dialami
oleh para budak yang mengawasi atau merawat anak majikannya sampai mengantarkan
sekolah setiap harinya. Membawakan peralatan tulis hingga memberikan instruksi
kepada anak majikannya. Hal inilah yang melatar belakangi munculnya istilah
pedagogik dalam Yunani kuno yang berarti “anak-instruksi” (bahasa Latin).[2]
Pernyataan diatas tidak sejalan dengan hakikat pendidik dalam
Islam. Dalam konteks Islam serng disebut dengan istilah Murabbi, Muallim, Muadib, Ustadz, atau al Syech.
Menurut Ramayulis (2012) pendidik yakni orang-orang yang bertanggung jawab
terhadap perkembangan peserta didik dengan mengupayakan seluruh potensi mereka
baik afektif, kognitif, maupun psikomotorik. Dalam konsep Islam pendidik atau
guru memiliki peran yang sangat penting. Selain sebagai pengajar ia juga
menjadi guru spiritual yang memberikan nasehat yang baik kepada anak didik.
Oleh karena itu, Dalam Islam memiliki kedudukan yang snagat tinggi, sebagaimana
dikutip dalam Hadis Nabi saw bahwa “ Tinta seorang Ilmuwan atau ulama lebih
berharga ketimbang darah para syuhada’ “.[3]
Al Jahiz adalah orang yang pertama memberikan kontribusi pada
sistem pendidikan yang keluar dari paham keagamaan. Al Jahiz memiliki prestasi
dibidang teologi Islam dan filologi Arab sebaik Filsafat Yunani dan Sains. Al
Jahiz lahir di Basrah pada Ketiga Islam, dan menulis berbagai karya dalam
bentuk prosa selama bertahun-tahun. Al Jahiz adalah Abu Utsman Amr Ibn Bahr Al
Kinani Al-Fuqaimi Al-Basri. Lahir di Pasrah,Irak pada Tahun 781 M/164 H ketika
masa kekhalifahan Abbasiyah di Baghdad. Al Jahiz cucu budak kulit hitam asal
Afrika Timur. Ia berasal dari keluarga miskin, namun kemiskinan tak membuat
Al-Jahiz menyerah dalam menuntut ilmu. Beliau melanjutkan studi hingga umur 25
tahun, berguru kepada sederet ilmuwan. Beliau seorang yang cerdas dan brilian
sehingga mampu menguasai berbagai ilmu pengetahuan. Semua tulisan dan
karya-karya penting ia pelajari termasuk buku terjemahan filsafat Yunani
khususnya pemikiran Aristoteles.
( 2 )
Kutipan dan ikhtisar terdahulu hampir mewakili gagasan antara
Arab-Islam sebagai aspek penting dalam pendidikan dasar hingga akhir pada abad
keempat Islam. Bersumber pada tradisi keagamaan, teori ini dikembangkan dan
ditafsirkan berdasarkan praktek terdahulu. Meskipun praktik pendidikan pada
pra-pendidikan dasar, meliputi ajaran yang ada didalam al Qu’ran dan Hadits bertentangan
dengan kebudayaan Arab yang berkembang jauh, sampai sekarang belum ada laporan interpretasi perbandingan perkembangan tersebut oleh para teolog,
ahli hukum atau ahli
sastra. Tidak ditemukan karya terkait pernyataan ini, tetapi ajaran para
ilmuwan filsafat murni mempengaruhi pendidikan. Beberapa paham tersebut yang
kita ketahui: aliran empirisme, nativisme, naturalisme, konvergensi.
Apabila tidak
benar interpretasi dalam Alqur’an dan Hadis, para filosof Muslim
mengintegrasikan filsafat Yunani dengan ajaran Islam. Sehingga integrasi
pembelajaran yang mereka harapkan dapat terwujud.
Tujuan pendidikan Islam tidak selalu paten disepanjang periode
perkembangan Islam. Pada abad pertama Hijriyah tujuan pendidikan Islam berbeda
dengan Abad keempat Hijriyah. Oleh karena itu, tujuan dan sasaran pendidikan
Islam mengalami perkembangan pada abad berikutnya. Pada hakikatnya tujuan
pendidikan Islam selamanya bersumber pada aliran rasionalisme dan keagamaan
yang diikuti pada pendidik Muslim. Akibatnya pandangan mereka serta tujuan
pendidikan yang mereka ikuti dalam pengajaran dan pendidikan saling berbeda.
Misalnya Al Qabisi berpendapat bahwa tujuan pendidikan adalah ajaran agama baik
dalam pendidikan secara alamiah maupun ilmiah. Sedangkan Ibnu Maskawaih
berpendapat bahawa tujuan pendidikan adalah tercapainya kebajikan, kebenaran
dan keindahan.[4]
Halaman 38
Meskipun demikian, subtansi dari risalah sebagian besar berisi
tentang paham neoplatonisme dan tasawuf Islam, dan keduanya merupakan elemen
yang direfleksikan pada teori pendidikan tertuang pada lima ajaran agama. Keutamaan
dan pokok tujuan pendidikan yang tepat menurut sunnah: Bahagia didunia dan
kekal di akhirat. Tetapi, proses pembelajaran alami yang mana sesuai dengan
doktrin Plato yang bersifat idealistik, yakni yang menentukan dan membentuk
pengetahuan adalah sesuatu yang berada dalam ide. Dinyatakan juga bahwa jiwa
yang digabungkan dengan tubuhnya berasal dari kehendak Tuhan. Oleh karena itu,
potensi pembelajaran dan intruksi kebutuhan hanya sarana untuk mengaktualisasikannya.
Pengertian pendidikan ini memiliki persamaan dengan aliran
nativisme yang bercorak idealisme, bahwa perkembangan pribadi seseorang
ditentukan oleh hereditas, yaitu faktor bawaan yang bersifat kodrat dari
kelahiran, yang tidak dapat diubah oleh lingkungan maupun pengajaran dari luar.
Lebih lanjut, paham ini berpendapat, bahwa potensi yang terdapat dalam diri
seseorang bukanlah hasil pendidikan, melainkan sudah ada sejak lahir. Tugas
pendidikan hanya sebagai sarana mengaktualisasikan potensi-potensi tersebut.
Aliran ini dikembangkan oleh Arthur Schopenhauer (1788-1860).[5]
Salah satu sebab dari paham ini yang dimaksudkan untuk mencapai
hasil pendidikan; dengan tanpa mengetahui proses pembelajaran. Paham mereka
menerangkan bahwa pemikiran anak sebelum menerima pengajaran atau pendidikan
adalah seperti tabula rasa: “ Anak yang lahir didunia ini bagaikan
kertas putih (kosong), yang belum ada tulisannya. Segala sesuatu dapat ditulisi
sekehendak hati, benar atau salah, jika sulit untuk menghapusnya maka atau
tidak maka tulislah kembali.”. Menurut teori ini bahwa kepribadian didasarkan
pada lingkungan pendidikan yang didapatinya atau dari perkembangan jiwa
seseorang yang bergantung pada lingkungan. Jadi keduanya seimbang saling
berperan dalam pembentukan karakter.
Sedangkan dalam buku “crisis in Muslim Education” disebutkan
bahwa yang dimaksud dengan tujuan pendidikan Islam adalah transferisasi
pengalaman, yang dibagi menjadi dua kategori: pengalaman dalam membentuk
kemampuan atau teknik pengetahuan yang berubah dari tahun ke tahun dan pengalaman
nyata berdasarkan nilai pasti yang meliputi keagamaan dan kitab suci.[6]
3 (halaman 39-40)
Dalam literatur Arab klasik disebutkan bahwa tidak ada teori
pendidikan yang lebih otoriter, sistematik, dan komprehensif daripada teori
Al-Ghazali. Pemikiran al Ghazali lebih luas dibandingkan dengan pengamatannya. Wawasannya
menjadikannya sebagai guru besar dan pemikir yang handal. Al-Ghazali banyak
menulis buku seperti teologi dan Tasawuf.
Sebagai seorang pemikir Islam Al-Ghazali telah banyak melahirkan
karya tulis yang cukup monumental. Tulisan-tulisannya meliputi berbagai ilmu
pengetahuan, seperti teologi Islam, hukum Islam, tasawuf, tafsir, akhlak, adab
kesopanan, dsb.
Al-Gazali lahir pada tahun 450 H atau 1059 M. Nama lengkapnya Abu
Hamid Muhammad bin Muhammad Al-Ghazali. Seorang ulama ahli fiqih, ilmu kalam
dan ahli tasawuf.
Pendidikan menurut Al-Ghazali merupakan proses memanusiakan manusia
sejak masa kejadiannya sampai akhir hayatnya melalui berbagai ilmu pengetahuan
yang disampaikan dalam bentuk pengajaran secara bertahap, dimana proses
pengajaran itu menjadi tanggung jawab orang tua dan masyarakat menuju
pendekatan diri kepada Allah sehingga menjadi manusia sempurna. Tujuan
pendidikan menurut al-Gazali adalah membentuk manusia shalih. Manusia shalih
ialah manusia yang mempunyai kemampuan melaksanakan kewajiban-kewajibannya
kepada Allah dan kewajiban-kewajibannya kepada manusia sebagai hamba-Nya.
Al Ghazali memiliki pandangan berbeda dengan kebanyakan ahli
filsafat pendidikan Islam mengenai tujuan pendidikan Islam. Beliau menekankan
tugas pendidikan mengarah pada realisasi keagamaan dan akhlak. Dimana
keutamaaan dan taqqarub kepada Allah merupakan tujuan penting dalam pendidikan.
Dimulai dari penciptaan bayi sebelum lahir kedunia adalah tahun awal pembiasaan
pendidikan. Menurutnya” anak adalah sebuah amanah (dari Pencipta) yang
dilimpahkan kepada kedua orang tua dan hatinya yang masih suci adalah elemen
berharga yang mampu membuat kesan”. Apabila kedua orang tua kemudian
guru-gurunya mengarahkan kepada kebaikan maka dia akan hidup bahagia didunia
akhirat dan mendapat rahmat Allah karena berbuat baik.
Sejalan dengan itu dalam buku “ Perbandingan Pendidikan Islam”
disebutkan penegasan Al Ghazali “manakala seorang ayah menjaga anaknya dari
siksaan api neraka/akhirat dengan cara mendidik dan melatihnya serta
mengajarnya dengan keutamaan akhirat, karena akhlak yang baik merupakan sifat
rosullah saw dan sebaik-baik amal perbuatan orang-orang yang jujur terpercaya,
merupakan realisasi daripada buahnya ketekunan orang yang dekat dengan allah”.
Beliau mengatakan: “wajiblah seorang guru mengarahkan murid kepada tujuan
mempelajari ilmu yaitu taqorrub pada Allah bukannya mengarah pada kepemimpinan
atau kemegahan”. [7]
Sedangkan dalam buku (Pendidikan Islam Kajian Teoritis dan
Pemikiran Tokoh: 326) disebutkan tujuan lain dari pendidikan adalah untuk
membentuk para ilmuwan yang memiliki keluhuran akhlak dan budi pekerti yang
baik. Hal ini sebagaimana dikemukakan dalam kitab Mizanul Amal, Al
Ghazali berkata “Bahwa tujuan mencari ilmu pengetahuan pada setiap masa adalah
untuk membentuk kesempurnaan dan ketentraman jiwa”. [8]
Pendidikan tinggi merupakan pendidikan yang sesuai dengan kurikulum,
kualitas dari guru dan murid. Kurikulum atau materi pendidikan adalah program
pendidikan yang disampaikan kepada peserta didik. Menurut al-ghazali, konsep
kurikulum sangat erat kaitannya dengan ilmu pengetahuan. Beliau juga membahas
tentang pendidik, mulai dari proses pendidik, gaji seoarang pendidik,
persyaratan kepribadian pendidik serta tugas dan kewajiban pendidik. Kemudian tentang
peserta didik, menurut al-Ghazali peserta didik adalah orang yang memiliki
fitrah (potensi untuk berkembang).
Pemikiran Al Ghazali didominasikan pada pendidikan Islam selama
berabad-abad setelah wafat beliau. Misalnya semua sumber praktik pendidikan mulai
maju pada Abad 19 yang terinspirasi dari
tulisannya atau. Tidak ada nilai khusus yang ditambahkan pada teori. Para
penulis sangat bangga untuk membuat karya dengan mengutipnya. Penulis yang
muncul satu Abad setelah Al Ghazali wafat yakni Zarnuji. Buku kecil karya
Zarnuji berisi tentang ringkasan ide-ide tradisional, beberapa penelitian berpendapat
bahwa indikasi ilmu tasawuf masuk pada ranah pendidikan. Beliau melarang murid
untuk menggunakan tinta merah pada tulisan. Zarnuji adalah tokoh Islam yang terkenal
dengan cerpennya, dengan bahasa yang simpel dan gaya bahasa yang menarik
seperti anekdot, peribahasa, sajak,dsb.
Az Zarnuji adalah pengarang kitab Ta’lim Muta’alim. Menurut
pemikiran beliau bahwa seorang siswa ketika dalam pembelajaran harus memiliki
tiga belas pasal mengenai konsep
pendidikan Islam yaitu (1) pengertian ilmu dan keutamaannya, (2) niat dikala
belajar,(3) memilih guru, teman serta ketabahan dalam belajar, (4) menghormati
ilmu dan ulama, (5) ketekunan dan kontinuitas dan cita-cita luhur, (6)
permulaan dan intensitas belajar serta tata tertibnya, (7) tawakkal kepada
Allah swt, (8) masa belajar, (9) kasih sayang dan memberi nasihat, (10)
mengambil pelajaran, (11) wara’, (12) penyebab hafal dan lupa, (13) masalah
rezeki dan umur.
Dalam kitab ini juga disebutkan bahwa peserta didik harus sabar dan
tabah dalam belajar.seperti dalam syair gubahan dar Ali bin Abi Thali sebagai
berikut:
“ tak bisa kau raih ilmu tanpa enam senjata”
“ kututurkan ini padamu kan jelaslah semuanya”
“ cerdas,sabar, serius, tekun, ”
“ taat pada guru dan lama waktunya
Etika pembelajaran berkaitan erat dengan tata susila, norma-norma
dan aturan-aturan, dalam proses belajar mengajar, menurut syekh Az-Zarnuji
etika pembelajaran meliputi: bagaimana berniat dalam belajar, bagai mana
memilih guru, teman, dan ketabahan di dalam belajar, kemudian bagaimana
penghormatan terhadap ilmu dan ulama,bagaimana keseriusan, ketekunan, dan minat
dalam belajar. [9]
( 4 )
Dua abad setelah Zarnuji muncul tokoh ilmu pengetahuan Islam yakni Ibnu
Khaldun. Ibnu Khaldun lahir di Tunisia dan menerima pendidikan awal dari
ayahnya dan melanjutkan belajar dasar-dasar ilmu bahasa Arab dan Studi Islam
dengan berbagai guru hingga menjelang umur 20 tahun. Dia menjabat sebagai
politikus, duta besar, lembaga peradilan di Afrika Utara, Spanyol dan Mesir. Di
Kairo Ibnu Khaldun dia memiliki pengalaman mengajar, ketika menjadi hakim dan
mengkombinasikan dengan mengajar di Al Azhar.
Pemikirannya dituangkan dalam kitab “Muqaddimah” yang mana dia
menguraikan filsafat sejarah dan sosiologi. Sejarawan Inggris terkemuka Arnold
Toynbee menulis tentang Ibnu Khaldun “pemahaman dan perumusan filsafat sejarah merupakan
pekerjaan baik yang sangat besar yang dibuat sepanjang waktu atau tempat”.
Filsafat Ibnu Khaldun aspek yang sangat penting bagi pendidikan dan perhatian
khusus.
Prinsip pertama Ibnu Khaldun: pendidikan adalah fenomena sosial dan
pengajaran adalah salah satu karya sosial; manusia adalah makhluk sosial dan
kebutuhan pemebelajaran adalah kondisi pokok yang alami, kecerdasan intelek dan
kekuatan peradaban spiritual dalam kehidupan. Pendidikan menurut Ibnu Khaldun
adalah mentransformasikan nilai-nilai yang diperoleh dari pengalaman untuk
dapat mempertahankan eksistensi manusia dalam peradaban masyarakat. Pendidikan
adalah upaya melestarikan dan mewariskan nilai-nilai yang ada dalam masyarakat
agar masyarakat tersebut bisa tetap eksis. Pemikiran Ibnu Khaldun dalam hal
pendidikan ia tuangkan dalam karya monumentalnya yang dikenal dengan sebutan
Muqaddimah. Sebagai seorang filsuf muslim pemikirannya memanglah sangat
rasional dan berpegang teguh pada logika. Corak ini menjadi pijakan dasar
baginya dalam membangun konsep-konsep pendidikan. Menurutnya paling tidak ada
tiga tujuan yang hendak dicapai oleh pendidikan Islam, yaitu peningkatan
kecerdasan dan kemampuan berpikir, peningkatan segi kemasyarakatan manusia,
peningkatan segi kerohanian manusia. Sehingga diharapkan pendidikan Islam mampu
menciptakan manusia yang siap menghadapi berbagai fenomena social yang ada
disekitarnya.
Pemikiran Ibnu Khaldun mengenai pendidikan bercorak Empirisme yang
mana paham berdasarkan pengalaman. Tokoh yang terkemuka dalam aliran ini adalah
John Locke. Menurut John Locke aliran ini berpendapat bahwa pengetahuan atau
kebenaran yang sempurna tidak diperoleh melalui akal, melainkan diperoleh atau
bersumber dari panca indra manusia. Dengan kata lain, bahwa kebenaran adalah
sesuatu yang sesuai dengan pengalaman manusia. Aliran ini lahir sebagai reaksi
terhadap faham rasionalisme yang mengatakan bahwa dasar dari kebenaran adalah
rasio. Sedangkan aliran empirisme berpendapat bahwa pengalaman manusia yang
diperoleh melalui panca indra, adalah ukuran kebenaran. Untuk itu locke lebih
lanjut mengatakan bahwa segala sesuatu berasal dari pengalaman indrawi, bukan
budi (otak).
Ibnu Khaldun sangat dekat dengan Al Ghazali dalam menentukan batas
kapasitas akal manusia dalam proses pembelajaran yang mana bergantung pada wahyu
ilahi. Dia mendukung tahapan atau tingkatan belajar disesuaikan dengan
kemampuan peserta didik, menegaskan bahwa siswa harus mampu memahami satu
cabang ilmu pengetahuan untuk bekal memperoleh ilmu lain., dan menyetujui pembatasan
kemampuan belajar.
SAUDI ARABIA
Kerajaan Saudi Arabia didirikan pada tahun 1926 terdiri dari dua
daerah kekuasaan yang berbeda pada sosial pemerintahan. Pendiri provinsi
Ottoman dari Hijaz hingga timur Laut Merah dengan dua kota suci yaitu kota
Makkah dan Madinah. Dan dari Nejd yang mana luasnya melintang dari Peninsula
sampai ke sebelum Perang Dunia I.
Peraturan kerajaan Arab Saudi menganut pada paham “Wahhabi” yang
mana ketentuan Islam menurut al-Qur’an dan Hadis. Penguasa adalah Raja dan Imam
yang memiliki kewenangan untuk mengaplikasikan hukum Islam Negara. Pengikut
Revolusi Arab juga kerajaan Turki Usmani pada tahun 1916 di Hijaz menjadi kerajaan merdeka ditaklukkan
oleh para Wahhabian dan bergabung dengan Najd dan sekarang menjadi Kerajaan
Arab Saudi.
Pendidikan di Arab Saudi terbagi
menjadi dua bagian sebelum Perang Dunia I sebagai refleksi dari administrasi
pemerintah, agama dan kondisi masyarakat. Hijaz memiliki Pendidikan Islam
Tradisional dan mengkhususkan seputar Studi Islam di dua masjid kota suci (
Makkah dan Madinah). Dan sistem pendidikannya berasal dari pendidikan Turki
selama akhir dekade. Menurut dipublikasikan tahun1915 provinsi Hijaz memiliki 78 Pendidikan dasar. Kerajaan
Monarki Mutlak Arab di Hijaz yang bertahan dari perang, dengan bantuan
Administator Syria diubah menjadi Sekolah Arab. Sebagian besar sekolah baru
menerapkan sistem pendidikan modern.
Sebagian sekolah swasta yang disponsori oleh donatur tunggal
seperti sekolah Al-Falah disponsori oloh kontribusi dari Komunitas Relawan
Muslim seperti warga India dan Indonesia. Sekolah privat dan sekolah komunitas
hanya mempelajari seputar Islam, atau agama. Beberapa sekolah itu menambahkan
dalam kurikulum mereka pelajaran modern seperti Matematika, sejarah dan
geografi.
Di Najd, fasilitas pendidikan diatur oleh beberapa suku dan para
saudagar sebagai penyebaran ajaran Wahhabi yang memonopoli pendidikan. Ajaran
ini dianggap sangat sulit diterima sebelumnya, setelah diperkenalkan selama satu
dekade perencanaan negara yang ditetapkan oleh Suku Badui yang suka mengembara
dan mendidik mereka dengan prinsip Wahhabi dengan pandangan menjadikan mereka
para nelayan dan petani.
Ketika Hijaz dan Najd bersatu dibawah Kerajaan Monarki Arab mejadi negara kaya dengan
sumberdaya. Pendapatan sumber daya berasal dari Haji tahunan Makkah dan Madinah
oleh umat Islam seluruh dunia.
Sistem pendidikan di Arab Saudi memisahkan antara laki-laki dengan
perempuan. Untuk pendidikan umum, baik laik-laki maupun perempuan memiliki
ujian tahunan yang sama. Pendidikan laki-laki maupun perempuan dikembangkan
menjadi pendidikan dasar dan pendidikan lanjutan. Pemerintah memberikan
wewenang kepada menteri pendidikan untuk memperhatikan sertifikat yang sama
ditingkat pendidikan dasar, menengah, dan lanjutan baik perempuan maupun
laki-laki.
Pendidikan tinggi atau universitas di Arab Saudi terbagi menjadi
dua bagian utama yakni Pendidikan Agama dan Pendidikan Umum. Namun demikian,
sekarang sudah sangat banyak universitas yang menggabungkan keduanya. Jenis
perguruan tinggi di Arab Saudi adalah universitas, institut untuk perempuan
(college for women), institut administrasi publik (institute of public
administration) dan institut keguruan (teacher training college). Semua
universitas berada di bawah supervisi Kementerian Pendidikan Tinggi (Ministry
of Higher Education) kecuali Universitas Islam Madinah (Islamic University of
Medinah), Universitas terbaik di Arab Saudi untuk pendidikan agama Islam, yang
berada di bawah supervisi dewan menteri (Council of Ministers). Untuk memasuki
perguruan tinggi di Arab Saudi, calon mahasiswa harus memenuhi tes masuk
perguruan tinggi (General Secondary Education Certificate Examination) atau
Tawjihi.
[1]
Syed Sajjad
Husain and Syed Ali Ashraf, Crisis in Muslim
Education, (Jeddah: King Abdul Aziz University, tth), hal.1
[2]
Rahmat Hidayat,
Pedagogi Kritis: Sejarah, perkembangan dan pemikiran, (Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 2013), hal. 1-2
[3] Heri Gunawan, Pendidikan
Islam Kejian Teoritis Dan Pemikiran Tokoh, (Bandung: PT. REMAJA
ROSYDAKARYA, 2014), hal. 163-164
[4] Ali
Al-Jumbulati dan Abdul Futuh At- Tuwaanisi, Penerj. Arifin, Perbandingan
Pendidikan Islam, ( Jakarta: PT.RINEKA CIPTA, 2012), hal. 134.
[5] Abudin Nata, Pemikiran
Pendidikan Islam dan Barat, ( Jakarta: Rajawali Pers, 2012), hal. 31
[6] Syed Sajjad , Crisis
in Muslim Education, hal. 37
[7]
Ali
Al-Jumbulati dan Abdul Futuh At- Tuwaanisi, Penerj. Arifin, Perbandingan
Pendidikan Islam, hal. 134.
[8] Heri Gunawan, Pendidikan
Islam, hal. 326.
[9] Burhan Islam
Az-Zarnuji, Ta’lim Muta’alim, ( Semarang: Maktabah al’ Aliyah, tth),
hal. 41
Tidak ada komentar:
Posting Komentar