Senin, 25 Mei 2015

PENDIDIKAN DEMOKRASI ISLAM



TEORI PENDIDIKAN ISLAM
Halaman 35
            Pokok pendidikan Islam telah dikemukakan di Alqur’an, dan dinyatakan lebih rinci pada Hadis. Hal ini membutuhkan lebih dari dua abad praktik untuk menjelaskan lebih rinci tentang teori yang dirumuskan. Sebagian besar rumusan itu selalu mendekati prinsip-prinsip awal yang lebih dulu dinyatakan dalam wahyu ilahi, akan tetapi beberapa diantaranya dirancang memuat penyimpangan ideal dan merasionalisasikan pembaharuan.
Mengutip dari buku karangan Syed Sajjad Husain dan Syed Ali Ashraf dalam bukunya “ Crisis in Muslim Education” pada halaman 1 dijelaskan bahwa pendidikan Islam adalah pendidikan yang mana mendidik akal murid sebagai sebuah kebiasaan menjadi sikap dalam hidup, tindakan, dan pendekatan untuk seluruh jenis pengetahuan yang diatur dengan nilai spiritual dan nilai etika dalam islam.[1]
Selama kurun waktu yang lama, rumusan awal teori ini menghasilkan pendapat publik sebagai gambaran yang buruk bahwa guru mengajar untuk mendapatkan prestasi. Anekdot, peribahasa dan puisi menggambarkan guru sebagai seseorang dengan kecerdasan rendah dan berpikiran sempit, serta objek kekerasan dan penghinaan, hal seperti ini banyak terdapat dalam sejarah pedagogik Yunani.
Didalam buku Pedagogi Kritis: sejarah, perkembangan dan pemikiran karya Rakhmat Hidayat disebutkan dari berbagai referensi dijelaskan historis pedagogik dalam sejarah Yunani Kuno, fenomena ini dialami oleh para budak yang mengawasi atau merawat anak majikannya sampai mengantarkan sekolah setiap harinya. Membawakan peralatan tulis hingga memberikan instruksi kepada anak majikannya. Hal inilah yang melatar belakangi munculnya istilah pedagogik dalam Yunani kuno yang berarti “anak-instruksi” (bahasa Latin).[2]
Pernyataan diatas tidak sejalan dengan hakikat pendidik dalam Islam. Dalam konteks Islam serng disebut dengan istilah Murabbi,  Muallim, Muadib, Ustadz, atau al Syech. Menurut Ramayulis (2012) pendidik yakni orang-orang yang bertanggung jawab terhadap perkembangan peserta didik dengan mengupayakan seluruh potensi mereka baik afektif, kognitif, maupun psikomotorik. Dalam konsep Islam pendidik atau guru memiliki peran yang sangat penting. Selain sebagai pengajar ia juga menjadi guru spiritual yang memberikan nasehat yang baik kepada anak didik. Oleh karena itu, Dalam Islam memiliki kedudukan yang snagat tinggi, sebagaimana dikutip dalam Hadis Nabi saw bahwa “ Tinta seorang Ilmuwan atau ulama lebih berharga ketimbang darah para syuhada’ “.[3]
Al Jahiz adalah orang yang pertama memberikan kontribusi pada sistem pendidikan yang keluar dari paham keagamaan. Al Jahiz memiliki prestasi dibidang teologi Islam dan filologi Arab sebaik Filsafat Yunani dan Sains. Al Jahiz lahir di Basrah pada Ketiga Islam, dan menulis berbagai karya dalam bentuk prosa selama bertahun-tahun. Al Jahiz adalah Abu Utsman Amr Ibn Bahr Al Kinani Al-Fuqaimi Al-Basri. Lahir di Pasrah,Irak pada Tahun 781 M/164 H ketika masa kekhalifahan Abbasiyah di Baghdad. Al Jahiz cucu budak kulit hitam asal Afrika Timur. Ia berasal dari keluarga miskin, namun kemiskinan tak membuat Al-Jahiz menyerah dalam menuntut ilmu. Beliau melanjutkan studi hingga umur 25 tahun, berguru kepada sederet ilmuwan. Beliau seorang yang cerdas dan brilian sehingga mampu menguasai berbagai ilmu pengetahuan. Semua tulisan dan karya-karya penting ia pelajari termasuk buku terjemahan filsafat Yunani khususnya pemikiran Aristoteles.
 ( 2 )
Kutipan dan ikhtisar terdahulu hampir mewakili gagasan antara Arab-Islam sebagai aspek penting dalam pendidikan dasar hingga akhir pada abad keempat Islam. Bersumber pada tradisi keagamaan, teori ini dikembangkan dan ditafsirkan berdasarkan praktek terdahulu. Meskipun praktik pendidikan pada pra-pendidikan dasar, meliputi ajaran yang ada didalam al Qu’ran dan Hadits bertentangan dengan kebudayaan Arab yang berkembang jauh, sampai sekarang belum ada laporan interpretasi perbandingan perkembangan tersebut oleh para teolog, ahli hukum atau ahli sastra. Tidak ditemukan karya terkait pernyataan ini, tetapi ajaran para ilmuwan filsafat murni mempengaruhi pendidikan. Beberapa paham tersebut yang kita ketahui: aliran empirisme, nativisme, naturalisme, konvergensi.
Apabila tidak benar interpretasi dalam Alqur’an dan Hadis, para filosof Muslim mengintegrasikan filsafat Yunani dengan ajaran Islam. Sehingga integrasi pembelajaran yang mereka harapkan dapat terwujud.
Tujuan pendidikan Islam tidak selalu paten disepanjang periode perkembangan Islam. Pada abad pertama Hijriyah tujuan pendidikan Islam berbeda dengan Abad keempat Hijriyah. Oleh karena itu, tujuan dan sasaran pendidikan Islam mengalami perkembangan pada abad berikutnya. Pada hakikatnya tujuan pendidikan Islam selamanya bersumber pada aliran rasionalisme dan keagamaan yang diikuti pada pendidik Muslim. Akibatnya pandangan mereka serta tujuan pendidikan yang mereka ikuti dalam pengajaran dan pendidikan saling berbeda. Misalnya Al Qabisi berpendapat bahwa tujuan pendidikan adalah ajaran agama baik dalam pendidikan secara alamiah maupun ilmiah. Sedangkan Ibnu Maskawaih berpendapat bahawa tujuan pendidikan adalah tercapainya kebajikan, kebenaran dan keindahan.[4]
Halaman 38
Meskipun demikian, subtansi dari risalah sebagian besar berisi tentang paham neoplatonisme dan tasawuf Islam, dan keduanya merupakan elemen yang direfleksikan pada teori pendidikan tertuang pada lima ajaran agama. Keutamaan dan pokok tujuan pendidikan yang tepat menurut sunnah: Bahagia didunia dan kekal di akhirat. Tetapi, proses pembelajaran alami yang mana sesuai dengan doktrin Plato yang bersifat idealistik, yakni yang menentukan dan membentuk pengetahuan adalah sesuatu yang berada dalam ide. Dinyatakan juga bahwa jiwa yang digabungkan dengan tubuhnya berasal dari kehendak Tuhan. Oleh karena itu, potensi pembelajaran dan intruksi kebutuhan hanya sarana untuk mengaktualisasikannya.
Pengertian pendidikan ini memiliki persamaan dengan aliran nativisme yang bercorak idealisme, bahwa perkembangan pribadi seseorang ditentukan oleh hereditas, yaitu faktor bawaan yang bersifat kodrat dari kelahiran, yang tidak dapat diubah oleh lingkungan maupun pengajaran dari luar. Lebih lanjut, paham ini berpendapat, bahwa potensi yang terdapat dalam diri seseorang bukanlah hasil pendidikan, melainkan sudah ada sejak lahir. Tugas pendidikan hanya sebagai sarana mengaktualisasikan potensi-potensi tersebut. Aliran ini dikembangkan oleh Arthur Schopenhauer (1788-1860).[5]
Salah satu sebab dari paham ini yang dimaksudkan untuk mencapai hasil pendidikan; dengan tanpa mengetahui proses pembelajaran. Paham mereka menerangkan bahwa pemikiran anak sebelum menerima pengajaran atau pendidikan adalah seperti tabula rasa: “ Anak yang lahir didunia ini bagaikan kertas putih (kosong), yang belum ada tulisannya. Segala sesuatu dapat ditulisi sekehendak hati, benar atau salah, jika sulit untuk menghapusnya maka atau tidak maka tulislah kembali.”. Menurut teori ini bahwa kepribadian didasarkan pada lingkungan pendidikan yang didapatinya atau dari perkembangan jiwa seseorang yang bergantung pada lingkungan. Jadi keduanya seimbang saling berperan dalam pembentukan karakter.
Sedangkan dalam buku “crisis in Muslim Education” disebutkan bahwa yang dimaksud dengan tujuan pendidikan Islam adalah transferisasi pengalaman, yang dibagi menjadi dua kategori: pengalaman dalam membentuk kemampuan atau teknik pengetahuan yang berubah dari tahun ke tahun dan pengalaman nyata berdasarkan nilai pasti yang meliputi keagamaan dan kitab suci.[6]
3 (halaman 39-40)
Dalam literatur Arab klasik disebutkan bahwa tidak ada teori pendidikan yang lebih otoriter, sistematik, dan komprehensif daripada teori Al-Ghazali. Pemikiran al Ghazali lebih luas dibandingkan dengan pengamatannya. Wawasannya menjadikannya sebagai guru besar dan pemikir yang handal. Al-Ghazali banyak menulis buku seperti teologi dan Tasawuf.
Sebagai seorang pemikir Islam Al-Ghazali telah banyak melahirkan karya tulis yang cukup monumental. Tulisan-tulisannya meliputi berbagai ilmu pengetahuan, seperti teologi Islam, hukum Islam, tasawuf, tafsir, akhlak, adab kesopanan, dsb.
Al-Gazali lahir pada tahun 450 H atau 1059 M. Nama lengkapnya Abu Hamid Muhammad bin Muhammad Al-Ghazali. Seorang ulama ahli fiqih, ilmu kalam dan ahli tasawuf.  
Pendidikan menurut Al-Ghazali merupakan proses memanusiakan manusia sejak masa kejadiannya sampai akhir hayatnya melalui berbagai ilmu pengetahuan yang disampaikan dalam bentuk pengajaran secara bertahap, dimana proses pengajaran itu menjadi tanggung jawab orang tua dan masyarakat menuju pendekatan diri kepada Allah sehingga menjadi manusia sempurna. Tujuan pendidikan menurut al-Gazali adalah membentuk manusia shalih. Manusia shalih ialah manusia yang mempunyai kemampuan melaksanakan kewajiban-kewajibannya kepada Allah dan kewajiban-kewajibannya kepada manusia sebagai hamba-Nya.
Al Ghazali memiliki pandangan berbeda dengan kebanyakan ahli filsafat pendidikan Islam mengenai tujuan pendidikan Islam. Beliau menekankan tugas pendidikan mengarah pada realisasi keagamaan dan akhlak. Dimana keutamaaan dan taqqarub kepada Allah merupakan tujuan penting dalam pendidikan. Dimulai dari penciptaan bayi sebelum lahir kedunia adalah tahun awal pembiasaan pendidikan. Menurutnya” anak adalah sebuah amanah (dari Pencipta) yang dilimpahkan kepada kedua orang tua dan hatinya yang masih suci adalah elemen berharga yang mampu membuat kesan”. Apabila kedua orang tua kemudian guru-gurunya mengarahkan kepada kebaikan maka dia akan hidup bahagia didunia akhirat dan mendapat rahmat Allah karena berbuat baik.
Sejalan dengan itu dalam buku “ Perbandingan Pendidikan Islam” disebutkan penegasan Al Ghazali “manakala seorang ayah menjaga anaknya dari siksaan api neraka/akhirat dengan cara mendidik dan melatihnya serta mengajarnya dengan keutamaan akhirat, karena akhlak yang baik merupakan sifat rosullah saw dan sebaik-baik amal perbuatan orang-orang yang jujur terpercaya, merupakan realisasi daripada buahnya ketekunan orang yang dekat dengan allah”. Beliau mengatakan: “wajiblah seorang guru mengarahkan murid kepada tujuan mempelajari ilmu yaitu taqorrub pada Allah bukannya mengarah pada kepemimpinan atau kemegahan”. [7]
Sedangkan dalam buku (Pendidikan Islam Kajian Teoritis dan Pemikiran Tokoh: 326) disebutkan tujuan lain dari pendidikan adalah untuk membentuk para ilmuwan yang memiliki keluhuran akhlak dan budi pekerti yang baik. Hal ini sebagaimana dikemukakan dalam kitab Mizanul Amal, Al Ghazali berkata “Bahwa tujuan mencari ilmu pengetahuan pada setiap masa adalah untuk membentuk kesempurnaan dan ketentraman jiwa”. [8]
Pendidikan tinggi merupakan pendidikan yang sesuai dengan kurikulum, kualitas dari guru dan murid. Kurikulum atau materi pendidikan adalah program pendidikan yang disampaikan kepada peserta didik. Menurut al-ghazali, konsep kurikulum sangat erat kaitannya dengan ilmu pengetahuan. Beliau juga membahas tentang pendidik, mulai dari proses pendidik, gaji seoarang pendidik, persyaratan kepribadian pendidik serta tugas dan kewajiban pendidik. Kemudian tentang peserta didik, menurut al-Ghazali peserta didik adalah orang yang memiliki fitrah (potensi untuk berkembang).
Pemikiran Al Ghazali didominasikan pada pendidikan Islam selama berabad-abad setelah wafat beliau. Misalnya semua sumber praktik pendidikan mulai maju pada  Abad 19 yang terinspirasi dari tulisannya atau. Tidak ada nilai khusus yang ditambahkan pada teori. Para penulis sangat bangga untuk membuat karya dengan mengutipnya. Penulis yang muncul satu Abad setelah Al Ghazali wafat yakni Zarnuji. Buku kecil karya Zarnuji berisi tentang ringkasan ide-ide tradisional, beberapa penelitian berpendapat bahwa indikasi ilmu tasawuf masuk pada ranah pendidikan. Beliau melarang murid untuk menggunakan tinta merah pada tulisan. Zarnuji adalah tokoh Islam yang terkenal dengan cerpennya, dengan bahasa yang simpel dan gaya bahasa yang menarik seperti anekdot, peribahasa, sajak,dsb.
Az Zarnuji adalah pengarang kitab Ta’lim Muta’alim. Menurut pemikiran beliau bahwa seorang siswa ketika dalam pembelajaran harus memiliki tiga belas pasal mengenai  konsep pendidikan Islam yaitu (1) pengertian ilmu dan keutamaannya, (2) niat dikala belajar,(3) memilih guru, teman serta ketabahan dalam belajar, (4) menghormati ilmu dan ulama, (5) ketekunan dan kontinuitas dan cita-cita luhur, (6) permulaan dan intensitas belajar serta tata tertibnya, (7) tawakkal kepada Allah swt, (8) masa belajar, (9) kasih sayang dan memberi nasihat, (10) mengambil pelajaran, (11) wara’, (12) penyebab hafal dan lupa, (13) masalah rezeki dan umur.
Dalam kitab ini juga disebutkan bahwa peserta didik harus sabar dan tabah dalam belajar.seperti dalam syair gubahan dar Ali bin Abi Thali sebagai berikut:
“ tak bisa kau raih ilmu tanpa enam senjata”
“ kututurkan ini padamu kan jelaslah semuanya”
“ cerdas,sabar, serius, tekun, ”
“ taat pada guru dan lama waktunya
Etika pembelajaran berkaitan erat dengan tata susila, norma-norma dan aturan-aturan, dalam proses belajar mengajar, menurut syekh Az-Zarnuji etika pembelajaran meliputi: bagaimana berniat dalam belajar, bagai mana memilih guru, teman, dan ketabahan di dalam belajar, kemudian bagaimana penghormatan terhadap ilmu dan ulama,bagaimana keseriusan, ketekunan, dan minat dalam belajar. [9]
 ( 4 )
Dua abad setelah Zarnuji muncul tokoh ilmu pengetahuan Islam yakni Ibnu Khaldun. Ibnu Khaldun lahir di Tunisia dan menerima pendidikan awal dari ayahnya dan melanjutkan belajar dasar-dasar ilmu bahasa Arab dan Studi Islam dengan berbagai guru hingga menjelang umur 20 tahun. Dia menjabat sebagai politikus, duta besar, lembaga peradilan di Afrika Utara, Spanyol dan Mesir. Di Kairo Ibnu Khaldun dia memiliki pengalaman mengajar, ketika menjadi hakim dan mengkombinasikan dengan mengajar di Al Azhar.
Pemikirannya dituangkan dalam kitab “Muqaddimah” yang mana dia menguraikan filsafat sejarah dan sosiologi. Sejarawan Inggris terkemuka Arnold Toynbee menulis tentang Ibnu Khaldun “pemahaman dan perumusan filsafat sejarah merupakan pekerjaan baik yang sangat besar yang dibuat sepanjang waktu atau tempat”. Filsafat Ibnu Khaldun aspek yang sangat penting bagi pendidikan dan perhatian khusus.
Prinsip pertama Ibnu Khaldun: pendidikan adalah fenomena sosial dan pengajaran adalah salah satu karya sosial; manusia adalah makhluk sosial dan kebutuhan pemebelajaran adalah kondisi pokok yang alami, kecerdasan intelek dan kekuatan peradaban spiritual dalam kehidupan. Pendidikan menurut Ibnu Khaldun adalah mentransformasikan nilai-nilai yang diperoleh dari pengalaman untuk dapat mempertahankan eksistensi manusia dalam peradaban masyarakat. Pendidikan adalah upaya melestarikan dan mewariskan nilai-nilai yang ada dalam masyarakat agar masyarakat tersebut bisa tetap eksis. Pemikiran Ibnu Khaldun dalam hal pendidikan ia tuangkan dalam karya monumentalnya yang dikenal dengan sebutan Muqaddimah. Sebagai seorang filsuf muslim pemikirannya memanglah sangat rasional dan berpegang teguh pada logika. Corak ini menjadi pijakan dasar baginya dalam membangun konsep-konsep pendidikan. Menurutnya paling tidak ada tiga tujuan yang hendak dicapai oleh pendidikan Islam, yaitu peningkatan kecerdasan dan kemampuan berpikir, peningkatan segi kemasyarakatan manusia, peningkatan segi kerohanian manusia. Sehingga diharapkan pendidikan Islam mampu menciptakan manusia yang siap menghadapi berbagai fenomena social yang ada disekitarnya.
Pemikiran Ibnu Khaldun mengenai pendidikan bercorak Empirisme yang mana paham berdasarkan pengalaman. Tokoh yang terkemuka dalam aliran ini adalah John Locke. Menurut John Locke aliran ini berpendapat bahwa pengetahuan atau kebenaran yang sempurna tidak diperoleh melalui akal, melainkan diperoleh atau bersumber dari panca indra manusia. Dengan kata lain, bahwa kebenaran adalah sesuatu yang sesuai dengan pengalaman manusia. Aliran ini lahir sebagai reaksi terhadap faham rasionalisme yang mengatakan bahwa dasar dari kebenaran adalah rasio. Sedangkan aliran empirisme berpendapat bahwa pengalaman manusia yang diperoleh melalui panca indra, adalah ukuran kebenaran. Untuk itu locke lebih lanjut mengatakan bahwa segala sesuatu berasal dari pengalaman indrawi, bukan budi (otak).  
Ibnu Khaldun sangat dekat dengan Al Ghazali dalam menentukan batas kapasitas akal manusia dalam proses pembelajaran yang mana bergantung pada wahyu ilahi. Dia mendukung tahapan atau tingkatan belajar disesuaikan dengan kemampuan peserta didik, menegaskan bahwa siswa harus mampu memahami satu cabang ilmu pengetahuan untuk bekal memperoleh ilmu lain., dan menyetujui pembatasan kemampuan belajar.


SAUDI ARABIA
Kerajaan Saudi Arabia didirikan pada tahun 1926 terdiri dari dua daerah kekuasaan yang berbeda pada sosial pemerintahan. Pendiri provinsi Ottoman dari Hijaz hingga timur Laut Merah dengan dua kota suci yaitu kota Makkah dan Madinah. Dan dari Nejd yang mana luasnya melintang dari Peninsula sampai ke sebelum Perang Dunia I.
Peraturan kerajaan Arab Saudi menganut pada paham “Wahhabi” yang mana ketentuan Islam menurut al-Qur’an dan Hadis. Penguasa adalah Raja dan Imam yang memiliki kewenangan untuk mengaplikasikan hukum Islam Negara. Pengikut Revolusi Arab juga kerajaan Turki Usmani pada tahun 1916  di Hijaz menjadi kerajaan merdeka ditaklukkan oleh para Wahhabian dan bergabung dengan Najd dan sekarang menjadi Kerajaan Arab Saudi.
 Pendidikan di Arab Saudi terbagi menjadi dua bagian sebelum Perang Dunia I sebagai refleksi dari administrasi pemerintah, agama dan kondisi masyarakat. Hijaz memiliki Pendidikan Islam Tradisional dan mengkhususkan seputar Studi Islam di dua masjid kota suci ( Makkah dan Madinah). Dan sistem pendidikannya berasal dari pendidikan Turki selama akhir dekade. Menurut dipublikasikan tahun1915 provinsi  Hijaz memiliki 78 Pendidikan dasar. Kerajaan Monarki Mutlak Arab di Hijaz yang bertahan dari perang, dengan bantuan Administator Syria diubah menjadi Sekolah Arab. Sebagian besar sekolah baru menerapkan sistem pendidikan modern.
Sebagian sekolah swasta yang disponsori oleh donatur tunggal seperti sekolah Al-Falah disponsori oloh kontribusi dari Komunitas Relawan Muslim seperti warga India dan Indonesia. Sekolah privat dan sekolah komunitas hanya mempelajari seputar Islam, atau agama. Beberapa sekolah itu menambahkan dalam kurikulum mereka pelajaran modern seperti Matematika, sejarah dan geografi.
Di Najd, fasilitas pendidikan diatur oleh beberapa suku dan para saudagar sebagai penyebaran ajaran Wahhabi yang memonopoli pendidikan. Ajaran ini dianggap sangat sulit diterima sebelumnya, setelah diperkenalkan selama satu dekade perencanaan negara yang ditetapkan oleh Suku Badui yang suka mengembara dan mendidik mereka dengan prinsip Wahhabi dengan pandangan menjadikan mereka para nelayan dan petani.
Ketika Hijaz dan Najd bersatu dibawah Kerajaan  Monarki Arab mejadi negara kaya dengan sumberdaya. Pendapatan sumber daya berasal dari Haji tahunan Makkah dan Madinah oleh umat Islam seluruh dunia.
Sistem pendidikan di Arab Saudi memisahkan antara laki-laki dengan perempuan. Untuk pendidikan umum, baik laik-laki maupun perempuan memiliki ujian tahunan yang sama. Pendidikan laki-laki maupun perempuan dikembangkan menjadi pendidikan dasar dan pendidikan lanjutan. Pemerintah memberikan wewenang kepada menteri pendidikan untuk memperhatikan sertifikat yang sama ditingkat pendidikan dasar, menengah, dan lanjutan baik perempuan maupun laki-laki.
Pendidikan tinggi atau universitas di Arab Saudi terbagi menjadi dua bagian utama yakni Pendidikan Agama dan Pendidikan Umum. Namun demikian, sekarang sudah sangat banyak universitas yang menggabungkan keduanya. Jenis perguruan tinggi di Arab Saudi adalah universitas, institut untuk perempuan (college for women), institut administrasi publik (institute of public administration) dan institut keguruan (teacher training college). Semua universitas berada di bawah supervisi Kementerian Pendidikan Tinggi (Ministry of Higher Education) kecuali Universitas Islam Madinah (Islamic University of Medinah), Universitas terbaik di Arab Saudi untuk pendidikan agama Islam, yang berada di bawah supervisi dewan menteri (Council of Ministers). Untuk memasuki perguruan tinggi di Arab Saudi, calon mahasiswa harus memenuhi tes masuk perguruan tinggi (General Secondary Education Certificate Examination) atau Tawjihi.





[1] Syed Sajjad Husain and Syed Ali Ashraf, Crisis in Muslim  Education, (Jeddah: King Abdul Aziz University, tth), hal.1
[2] Rahmat Hidayat, Pedagogi Kritis: Sejarah, perkembangan dan pemikiran, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2013), hal. 1-2
[3] Heri Gunawan, Pendidikan Islam Kejian Teoritis Dan Pemikiran Tokoh, (Bandung: PT. REMAJA ROSYDAKARYA, 2014), hal. 163-164
[4] Ali Al-Jumbulati dan Abdul Futuh At- Tuwaanisi, Penerj. Arifin, Perbandingan Pendidikan Islam, ( Jakarta: PT.RINEKA CIPTA, 2012), hal. 134.

[5] Abudin Nata, Pemikiran Pendidikan Islam dan Barat, ( Jakarta: Rajawali Pers, 2012), hal. 31
[6] Syed Sajjad , Crisis in Muslim Education, hal. 37
[7] Ali Al-Jumbulati dan Abdul Futuh At- Tuwaanisi, Penerj. Arifin, Perbandingan Pendidikan Islam, hal. 134.
[8] Heri Gunawan, Pendidikan Islam, hal. 326.
[9] Burhan Islam Az-Zarnuji, Ta’lim Muta’alim, ( Semarang: Maktabah al’ Aliyah, tth), hal. 41

Tidak ada komentar:

Posting Komentar