PONDOK PESANTREN SALAFI
I.
PENDAHULUAN
Di Indonesia berkembang macam-macam
jenis lembaga pendidikan baik formal maupun tidak formal. Hal itu dipengaruhi
oleh pesatnya penduduk Indonesia yang bergama Islam. Di antara lembaga pendidikan yang pernah muncul di Indonesia, pendidikan
keagamaan dalam bentuk pesantren merupakan sistem pendidikan tertua saat ini
dan dianggap sebagai produk budaya Indonesia yang indigenoous (makna keaslian
Indonesia). Pendidikan ini semula merupakan pendidikan agama Islam yang dimulai
sejak munculnya masyarakat Islam di Nusantara pada abad ke-13.
Beberapa abad kemudian penyelenggaraan pendidikan ini semakin teratur dengan munculnya tempat-tempat pengajian. Bentuk ini kemudian berkembang dengan pendirian tempat-tempat menginap bagi para pelajar (santri), yang kemudian disebut pesantren.
Beberapa abad kemudian penyelenggaraan pendidikan ini semakin teratur dengan munculnya tempat-tempat pengajian. Bentuk ini kemudian berkembang dengan pendirian tempat-tempat menginap bagi para pelajar (santri), yang kemudian disebut pesantren.
Akar historis-kultural
pesantren tidak terlepas dari masuk dan berkembanganya Islam di Indonesia pada
abad ke-13 yang bercorak sufistik atau mistik. Dalam pergumulannya, pesantren
banyak menyerap budaya masyarakat Jawa Kelurahan pada saat itu yang cenderung
statis dan sinkretis. Oleh karena itulah, disamping karena basis pesantren
adalah masyarakat atau Islam tradisional.
II.
RUMUSAN MASALAH
a.
Apa
yang dimaksud dengan pondok pesantren ?
b.
Bagaimanakah
sejarah perkembangannya?
c.
Apakah
yang dinamakan pondok pesantren salafiyah?
d.
Apa
sajakah karakteristik pondok pesantren salafiyah?
e.
Bagaimanakah
sistem pembelajaran pondok pesantren salafiyah?
III.
PEMBAHASAN
a.
Pengertian Pondok Pesantren
Kata pondok berasal dari kata arab “funduq”
yang artinya ruang tidur atau wisma atau hotel sederhana. Sedangkan kata pesantren berasal dari kata santri yang di imbuhi
awalan pe- dan akhiran
–an yang berarti menunjukkan tempat, maka artinya adalah tempat para santri.
Terkadang juga di anggap sebagai gabungan kata santri (manusia baik) dengan
suku kata (suka menolong), sehingga kata pesantren dapat berarti tempat
pendidikan manusia baik-baik. Pesantren
juga sering disebut dengan “Pondok pesantren” berasal dari kata santri.
Menurut Kamus Umum bahasa Indonesia, kata ini mempunyai dua pengertian
yaitu orang yang beribadat dengan sungguh-sungguh;orang saleh. Pengertian ini
sering digunakan para ahli untuk membedakan golongan yang taat bergama dengan
yang tidak taat.[1]
Pesantren juga memiliki dua arti
yang dilihat dari segi fisik dan pengertian kultural. Dari segi fisik pesantren
merupakan sebuah kompleks pendidikan yang terdiri dari susunan bangunan yang
dilengkapi dengan sarana prasarana yang mendukung penyelenggaraan pendidikan.
Sedangkan secara kultural pesantren mencakup pengertian yang lebih luas mulai
dari system nilai khas yang secara intrinsik melekat di dalam pola kehidupan
komunitas santri, seperti kepatuhan pada kyai sebagai tokoh sentral, sikap
ikhlas dan tawadhu, serta tradisi keagamaan yang diwariskan secara
turun-temurun.
Ada pula yang mengartikan pesantren
dengan arti bahwa pesantren merupakan lembaga pendidikan tradisional Islam
untuk mempelajari, memahami, mendalami, menghayati, dan mengamalkan ajaran
Islam dengan menekankan pentingnya moral keagamaan sebagai pedoman perilaku
sehari-sehari.[2]
b.
Sejarah
pondok pesantren dan perkembangannya
Terus terang, tak banyak referensi yang menjelaskan tentang kapan pondok
pesantren pertama berdiri dan bagaimana perkembangannya pada zaman permulaan.
Bahkan istilah pondok pesantren, kiai
dan santri masih di perselisihan.
Terlepas dari itu, karena yang di maksudkan dengan istilah pesantren dalam
pembahasan ini adalah sebuah lembaga pendidikan dan pengembangan agama islam di
Tanah Air (khususnya jawa) di mulai dan di bawa oleh wali songo, maka model
pesantren di pulau jawa juga mulai berdiri dan berkembang bersamaan dengan
zaman wali songo. Karena itu tidak berlebihan
bila di katakan pondok pesantren yang pertama didirikan adalah pondok pesantren
yang didirikan oleh Syekh Maulana Malik Ibrahim atau Syekh Maulana Maghribi.[3]
Bruinessen mengemukakan bahwa asal usul pesantren berasal dari Arab.
Menurutnya pola pendidikan pesantren seperti pola pendidikan madrasah
dan zawiyah di Timur Tengah. Jika madrasah dimaksudkan lembaga
pendidikan diluar masjid, maka zawiyah adalah lembaga pendidikan
berbentuk lingkaran mengambil tempat disudut-sudut masjid.[4]
Beberapa rujukan tidak menyebutkan secara pasti tentang sejarah kemunculan
pesantren di Indonesia. Namun demikian, dari hasil pendataan Departemen Agama
pada 1984-1985 diperoleh informasi bahwa pesantren tertua di Indonesia adalah Pesantren
Jan Tanpes II di Pamekasan Madura yang didirikan pada 1062. Informasi ini
ditolak Mastuhu karena Mastuhu menduga
pesantren didirikan setelah Islam masuk ke Indonesia.
c.
Pengertian
pondok pesantren salafiyah
Pengertian
Tradisional/ salafiyah menunjukkan bahwa lembaga ini hidup sejak ratusan tahun
(300-400 tahun) yang lalu dan telah menjadi bagian yang mendalam dari sistem
kehidupan sebagian besar umat Islam Indonesiayang merupakan golongan mayoritas
bangsa indonesia dan telah mengalami perubahan dari masa ke masa sesuai dengan
perjalanan umat bukan tradisional dalam arti tetap tanpa mengalami penyesuaian.
Kata salaf atau salafiyyah
itu sendiri diambil dari numenklatur Arab salafiyyun untuk sebutan sekelompok
umat Islam yang ingin kembali kepada ajaran Al-Qur’an dan Assunnah sebagaimana
praktik kehidupan generasi pertama Islam (Assalafussholeh). Pada waktu itu umat
Islam sedang mengalami perpecahan dalam bentuk golongan madzhab tauhid hingga
beberapa kelompok. Kelompok salafiyun ini mengaku lepas dari semua kelompok itu
dan mengajak semua yang telah terkelompok-kelompok menyatu kembali kepada
ajaran Al-Quran dan Assunnah. Penggunaan kata salaf juga dipakai untuk antonym
kata salaf versus kholaf. Ungkapan ini dipakai untuk membedakan antara ulama
salaf (tradisional) dan ulama kholaf (modern). Tidak selamanya yang salaf
berarti kuno manakala ulama mengajak kembali kepada ajaran Al-Qur,an.
Seringkali mereka bahkan lebih dinamis dari yang kholaf karena ulama kholaf
banyak diartikan juga untuk menggambarkan ulama yang memiliki orientasi ke
salafussholeh.[5]
Pondok pesantren salafiyah dapat
dipahami sebagai pesantren yang memelihara bentuk pengajaran teks klasik dan
pendidikan moral sebagai inti pendidikannya.
Penggunaan kata salaf untuk
pesantren hanya terjadi di Indonesia. Tetapi pesantren salaf cenderung
digunakan untuk menyebut pesantren yang tidak menggunakan kurikulum modern,
baik yang berasal dari pemerintah ataupun hasil inovasi ulama sekarang.
Pesantren salaf pada umumnya dikenal dengan pesantren yang tidak menyelenggarakan pendidikan formal
semacam madrasah ataupun sekolah. Kalaulah menyelenggarakan pendidikan keagaman
dengan system berkelas kurikulumnya berbeda dari kurikulum, model sekolah
ataupun madrasah pada umumnya.
Jadi menurut hemat penulis pesantren
salaf yakni pesantren yang melakukan pengajaran terhadap santri-santrinya untuk
belajar agama islam secara khusus tanpa mengikutsertakan pendidikan umum
didalamnya. Kegiatan yang dilakukan biasanya mempelajari ajaran Islam dengan
belajar menggunakan kitab-kitab kuning atau kitab kuno (klasik), yang
menggunakan metode tradisional seperti hafalan, menerjemahkan kitab-kitab
didalam berlangsungnya proses belajar mengajar. Dalam pesantren salaf peran
seorang kyai atau ulama sangat dominan, kyai menjadi sumber referensi utama
dalam system pembelajaran santri-santrinya.
Pesantren tradisional (salafi)
“merupakan salah satu lembaga pendidikan Islam yang sangat diperhitungkan dalam
mempersiapkan ulama pada masa depan, sekaligus sebagai garda terdepan dalam
memfilter dampak negatif kehidupan modern”. Istilah pesantren tradisional
digunakan untuk menunjuk ciri dasar perkembangan pesantren yang masih bertahan
pada corak generasi pertama atau generasi salafi.
d.
Karakteristik
pondok pesantren salafiyah
a)
Elemen-elemen
pondok pesantren salaf
Zamakhsyari
Dhofier, (1982:44-45) mengatakan, ada lima unsur pondok pesantren yang melekat
atas dirinya yang meliputi: masjid, pondok, pengajaran kitab-kitab Islam
klasik, santri dan kiai.[6]
Dalam
catatan Nurcholish Madjid ada 4 istilah jawa yang dominan digunakan dipesantren
yaitu: santri, kiai, ngaji, dan njenggoti.
-
Santri
Kata santri
yang digunakan untuk menunjuk peserta didik di pesantren berasal dari bahasa
jawa “cantrik” yang berarti seseorang yang selalu mengikuti guru kemana pun
pergi. Seorang cantrik mengikuti guru kemana saja untuk mempelajari ilmu yang
dimiliki sang guru.[7] Zamakhsyari
Dhofir berpendapat bahwa: “Santri yaitu murid-murid yang tinggal di dalam
pesantren untuk mengikuti pelajaran kitab-kitab kuning atau kitab-kitab Islam
klasik yang pada umumnya terdiri dari dua kelompok santri yaitu: Santri Mukim
yaitu santri atau murid-murid yang berasal dari jauh yang tinggal atau menetap
di lingkungan pesantren. Santri Kalong yaitu santri yang berasal dari desa-desa
sekitar pesantren yang mereka tidak menetap di lingkungan kompleks pesantren
tetapi setelah mengikuti pelajaran mereka pulang.
-
Kiai
Istilah lain
yang digunakan untuk menunjuk sang guru dipesantren adalah kiai juga dari bahasa
Jawa. Perkataan “kiai’ untuk laki-laki dan “nyai” untuk perempuan digunakan
oleh orang Jawa untuk memanggil kakeknya. Kata “kiai” dan “nyai” di sini
mengandung pengertian rasa hormat dan terhadap orang tua.
Didunia
pesantren dikenal kiai dan guru bantu. Kiai dipahami sebgai pemilik dan
pengasuh pondok pesantren yang bertugas mengajarkan pelajaran-pelajaran agama,
baik yang pokok maupun tambahan. Diantar yang poko adalah tauhid, fikih dan
akhlak. Sedangkan guru bantu biasanya santri yang sudah menempuh pedidikan lama
menggantikan sang kyai saad uzur atau halangan. Selain mengajar guru bantu juga
menyediakan kebutuhan harian santri, menjadi pengurus harian serta menempatkan
santri baru.[8]
-
Pondok
Menurut Manfred Ziemek, kata pondok
berasal dari kata funduq (Arab) yang berarti ruang tidur atau wisma
sederhana, karena pondok memang merupakan tempat penampungan sederhana bagi
para pelajar yang jauh dari tempat asalnya. Bentuk bangunan asrama atau pondok
tidak ada pola baku yang didikuti, karena itu bentuk asrama/pondok berbeda
anatara satu pesantren dengan yang lain. Dari segi fungsinya, sistem pondok
sebagai tempat tinggal para santri sesungguhnya merupakan komponen penting dari
tradisi pesantren salafiyah, bahkan menjadi penopang utama bagi pesantren untuk
dapat terus berkembang. Dengan sistem pondok ini, para santri merasa terjamin
ketersediaan asrama, sehingga mereka tidak merasa kesulitan dari segi tempat
tinggal.
-
Masjid
Bagi
pondok pesantren, masjid tidak hanya berfungsi sebagai tempat beribadah sebagaimana
pada umumnya. Akan tetapi juga berfungsi
sebagai tempat belajar, mendidik para santri. Karena itu masjid
merupakan komponen yang tidak dapat dipisahkan dari pesantren. Secara historis
masjid merupakan transformasi dari lembaga pendidikan Islam salafiyah.
-
Pengajian
Kitab Islam klasik
Pengajian
kitab-kitab Islam klasik atau yang biasa disebut kitab kuning di pesantren
sebenarnya upaya mentransfer literatur-literatur Islam klasik dan sebagai
sarana membekali para santri dengan pemahaman warisan keilmuan masa lampau atau
jalan kebenaran menuju kesadaran erotis ihwal status kehambaan/ubudiyah di
hadapan Allah.[9]
Istilah
lain yang kerap berhubungan dengan pesantren salafiyah ayakni ngaji atau
njenggoti, biasa disebut juga dengan “ngabsahi”. Kata “ngaji”
digunakan untuk menunjuk kegiatan santri dan kiai dipesantren berasal dari kata
“aji” yang berarti terhormat dan mahal. Kata “ngaji” biasanya digandengkan
dengan kitab:”ngaji kitab” diartikan sebagai kegiatan santri pada saat
mempelajari kitab yang berbahasa Arab. Oleh karena banyak yang belum mengerti
bahasa Arab maka kiai menerjemahkan kata perkata dengan menggunakan bahasa
Jawa. Para santri mengikuti dengan cermat terjemahan sang kiai dan mereka
mencatat nya di bawah lafadz yang dibacakan oleh kyai biasanya disebut dengan
Arab pegon. Disebut njenggoti karena menggantung seperti janggut pada
kata yang diterjemahkan.[10]
Dengan
kata lain, pengajaran kitab Islam klasik merupakan salah satu cara yang
ditempuh oleh pesantren untuk membekali para calon ulama akan ilmu keislaman
yang kelak akan ditransfer kepada masyarakat secara lebih luas.
Adapun
kitab klasik yang biasanya diajarkan di pondok pesantren salaf menurut
Nurcholis Madjid digolongkan menjadi 7 kelompok yaitu: tauhid, akhlak,
sintaksis (Nahwu) dan sorof (morfologi), fikih, hadis, dan Bahasa Arab. Selain
itu, Dhofier menambahkan satu kelompok yaitu cabang-cabang kitab tarih dan
balaghah. [11]
b)
Sistem
pendidikan pondok pesantren salafiyah
Sistem pendidikan di pesantren salafiyah berbeda dengan sistem
pendidikan madrasah maupun ponpes modern pada umumnya. Pesantren salafiyah
tumbuh sebagai pusat belajar pendidikan agama yang unik, seperti pengantar
pengajarannya menggunakan kitab kuning dijelaskan dengan bahasa lokal, memegang
teguh tradisi adat istiadat, norma serta nilai khas pesantren. Dengan demikian
bahasa lokal memiliki pengaruh kuatnya nilai
pesantren.
Peran kiai dengan karisma keilmuan yang dimiliki sekaligus pewaris
para nabi merupakan bagian integral dalam pendidikan pesantren. Karena kiai
merupakan penentu dalam pendidikan di dalam pondok pesantren salafiyah.[12]
Adapun metode pembelajaran yang lazim digunakan dalam pondok
pesantren salaf adalah metode sorogan dan weton. Metode sorogan
adalah metode pengajaran individual, dimana setiap santri menghadap secara
bergiliran kepada kyai atau pembantu kyai untuk membaca, menjelaskan dan
menghafal pelajaran yang diberikan sebelumnya. Dengan metode ini, kyai
mengetahui betul kemampuan santrinya. Metode sorogan ini biasanya diperuntukkan
untuk santri yang cukup maju, khususnya yang berminat menjadi kiai dan ulama. Sedangkan
weton adalah pembelajaran berkelompok, dimana kyai membaca, menjelaskan.
Pada saat proses pembelajaran santri bergerombol duduk mengelilingi sang kyai
atau duduk agak jauh dari sang kyai agar suara sang kyai dapat terdengar.
Pada umumnya pondok pesantren salafiyah lebih condong menganut
faham Syafi’iyah Asy’ariyah. Dilihat dari kitab dan ajaran fikih tauhid yang
diajarkan para kyai kepada santri.
IV.
ANALISIS
Seringkali proses belajar mengajar
di pesantren tradisional/salafiyah tidak mengalami dinamika dan tidak
memperhitungkan waktu, strategi, metode yang lebih kontekstual dengan
perkembangan zaman. Padahal seiring berkembangnya zaman santri membutuhkan
formalitas-sebutlah ijazah serta penguasaan bidang keahlian tertentu yang dapat
mengantarkannya agar mampu menjalani kehidupan. Di era modern santri tidak
hanya bermodal nilai dan norma moral saja, tetapi perlu skill yang mumpuni agar
menjadi bekal di masa depan.
Tidak ada nya perkembangan metode
dalam pembelajaran membuat santri berpaku pada metode tertentu. Sehingga ketika
sudah selesei hanya dapat menerapkan metode tertentu saat terjun pada sekolah
atau madrasah.
Konsep kurikulum yang tidak tertata
rapi sehingga keterserapan lulusan pondok pesantren salafiyah kurang
dibandingkan pondok pesantren modern.
Kelebihan belajar di pesantren salaf
yaitu adanya budaya tadzim pada kiai dan patuh segala apa yang diajarkan oleh
kiai. Sekiranya itu merupakan hal yang baik.
Karena pesantren salafiyah lebih menonjol pada pendidikan agama dan
akhlaknya, maka pesantren ini kurang mempersiapkan para santri menghadapi
isu-isu sosial yang lebih luas dalam suatu masyarakat yang semakin berubah.
Pola pendidikan akhlak dan
kedisplinan yang diterapkan di pesantren berpengaruh kuat pada tingkah laku
para santri ketika sudah selesai proses belajarnya.
Rasa persaudaraan maupun silaturahmi
anata santri dan kiai terbangun sangat baik meskipun para santri sudah lulus
dari pondok pesantren. Meskipun sang kiai sudah wafat. Hal itu dibuktikan saat
diadakan haul maupun acara akhirusannah. Karena karomah dan barokah sang kiai
bagi santri salaf adalah suatu bakti bagi santri.
Tradisi pesantren salafiyah mengenal dua kelompok
santri, yaitu kelompok santri muqim dan santri kalong. Dikatakan santri muqim
karena snatri menetap di pesantren selama masa belajar sedangkan santri kalong
tidak menetap di pondok. Santri kalong biasanya berasal dari desa-desa
sekitar pondok.
Dikalangan santri salafiyah masih
berlaku budaya tawadhu’ dan mohon restu terhadap kyai. Mereka tidak bisa
melepaskan diri dari identitas budaya santri yang ikhlas, tawadhu’, zuhud dan
wara’. Demgan begitu mereka menempatkan kyai pada posisi yang dihormati. Karena
berkeyakinan sepenuhnya bahwa seorang kyai memiliki kecendekiawanan tinggi,
intelektual yang memadai dan akhlak yang mulia.
Pada kebanyakan pondok pesantren
salafiyah tidak diadakannya ujian masuk pesantren, hanya pesantren tertentu
saja yang berskala besar yang mengadakannya. Sedangkan hal itu sangat berguna
untuk mengetahui perbedaan tingkat kecerdasan santri pada awal masuk pondok.
Sehingga pada penempatan kelasnya sesuai.
V.
KESIMPULAN
Kata pondok berasal dari kata arab “funduq”
yang artinya ruang tidur atau wisma atau hotel sederhana. Sedangkan kata pesantren berasal dari kata santri yang di imbuhi
awalan pe- dan akhiran
–an yang berarti menunjukkan tempat, maka artinya adalah tempat para santri mencari
ilmu atau mendapatkan pelajaran dari kyai.
Ada pula yang mengartikan pesantren
dengan arti bahwa pesantren merupakan lembaga pendidikan tradisional Islam
untuk mempelajari, memahami, mendalami, menghayati, dan mengamalkan ajaran
Islam dengan menekankan pentingnya moral keagamaan sebagai pedoman perilaku
sehari-sehari.
Beberapa rujukan tidak menyebutkan secara pasti tentang sejarah kemunculan
pesantren di Indonesia. Namun demikian, dari hasil pendataan Departemen Agama
pada 1984-1985 diperoleh informasi bahwa pesantren tertua di Indonesia adalah
Pesantren Jan Tanpes II di Pamekasan Madura yang didirikan pada 1062. Informasi
ini ditolak Mastuhu karena Mastuhu
menduga pesantren didirikan setelah Islam masuk ke Indonesia.
Kata salaf atau salafiyyah
itu sendiri diambil dari numenklatur Arab salafiyyun untuk sebutan sekelompok
umat Islam yang ingin kembali kepada ajaran Al-Qur’an dan Assunnah sebagaimana
praktik kehidupan generasi pertama Islam (Assalafussholeh). Pesantren Salaf yakni pesantren yang melakukan pengajaran terhadap
santri-santrinya untuk belajar agama islam secara khusus tanpa mengikutsertakan
pendidikan umum didalamnya. Kegiatan yang dilakukan biasanya mempelajari ajaran
Islam dengan belajar menggunakan kitab-kitab kuning atau kitab kuno (klasik),
yang menggunakan metode tradisional seperti hafalan, menerjemahkan kitab-kitab
didalam berlangsungnya proses belajar mengajar
Zamakhsyari Dhofier, (1982:44-45) mengatakan, ada lima unsur pondok
pesantren yang melekat atas dirinya yang meliputi: masjid, pondok, pengajaran
kitab-kitab Islam klasik, santri dan kiai. Dalam catatan Nurcholish Madjid ada
4 istilah jawa yang dominan digunakan dipesantren yaitu: santri, kiai, ngaji,
dan njenggoti.
Sistem pendidikan di pesantren
salafiyah berbeda dengan sistem pendidikan madrasah maupun ponpes modern pada
umumnya. Pesantren salafiyah tumbuh sebagai pusat belajar pendidikan agama yang
unik, seperti pengantar pengajarannya menggunakan kitab kuning dijelaskan
dengan bahasa lokal, memegang
teguh tradisi adat istiadat, norma serta nilai khas pesantren. Dengan demikian
bahasa lokal memiliki pengaruh kuatnya nilai
pesantren. Metoee pembelajaran yang dipakai metode halaqah/ sorogan dan
metode weton.
Demikian makalah yang kami buat. Kami sadar banyak terdapat
kekurangan baik dari penulisan maupun
redaksi dalam pembuatan makalah. Untuk itu, kritik dan saran yang konstuktif
dari pembaca sangat kami harapkan.sebagai perbaikan pada makalah selanjutnya.
Semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua. Amin
[1]
Nurcholish
Madjid, Bilik-Bilik Pesantren sebuah Potret perjalanan, ( Jakarta:
Paramadina, 1997), hlm.19-21
[2]
Mastuhu, Dinamika sistem pendidikan Pesantren , (Jakarta:INIS,1994),
hlm.55
[4]
Martin Van
Bruinessen, Kitab Kuning, Pesantren, dan Tarekat: Tradisi-tradisi Islam di
Indonesia (Bandung: Mizan,1995),hlm. 22
[5] Sulthon
masyhud, Khusnur Ridho, Manajemen Pondok Pesantren,(Jakarta:Diva
Pustaka, 2003), hlm. 7
[6]
Zamakhsyari Dhofier, Tradisi
Pesantren Studi tentang Pandangan Hidup Kyai, (Jakarta: LP3S, 1983), hlm.18.
[7] Abdullah Aly, Pendidikan
Islam Multikultural di Pesantren, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011),
hlm.151-152
[8] Karel
Steenbrink, Pesantren, Madrasah, dan Sekolah Pendidikan Islam dalam kurun
Modern, (Jakarta: LP3ES,1986), hlm.
14
[9] Said Aqiel
Siraj, Pesantren Masa depan: wacana Pemberdayaan dan Transformasi pesantren,
(Bandung: Pustaka Hidayah,1999), hlm. 16-17
[10] Mahmud Yunus, Sejarah
Pendidikan Islam di Indonesia (Jakarta: Mutiara, 1979), hlm. 53-55
[11] Nurcholish
Madjid, Bilik-Bilik Pesantren, hlm. 7-11
[12] Rohinah, KH.
Hasyim Asy’ari memodernisasi NU dan Pendidikan Islam, (Jakarta: Grafindo
Khazanah Ilmu, 2010), hlm.89
Tidak ada komentar:
Posting Komentar