Senin, 25 Mei 2015

PONDOK PESANTREN SALAFI



PONDOK PESANTREN SALAFI
       I.            PENDAHULUAN
Di Indonesia berkembang macam-macam jenis lembaga pendidikan baik formal maupun tidak formal. Hal itu dipengaruhi oleh pesatnya penduduk Indonesia yang bergama Islam. Di antara lembaga pendidikan yang pernah muncul di Indonesia, pendidikan keagamaan dalam bentuk pesantren merupakan sistem pendidikan tertua saat ini dan dianggap sebagai produk budaya Indonesia yang indigenoous (makna keaslian Indonesia). Pendidikan ini semula merupakan pendidikan agama Islam yang dimulai sejak munculnya masyarakat Islam di Nusantara pada abad ke-13.
Beberapa abad kemudian penyelenggaraan pendidikan ini semakin teratur dengan munculnya tempat-tempat pengajian. Bentuk ini kemudian berkembang dengan pendirian tempat-tempat menginap bagi para pelajar (santri), yang kemudian disebut pesantren.
Akar historis-kultural pesantren tidak terlepas dari masuk dan berkembanganya Islam di Indonesia pada abad ke-13 yang bercorak sufistik atau mistik. Dalam pergumulannya, pesantren banyak menyerap budaya masyarakat Jawa Kelurahan pada saat itu yang cenderung statis dan sinkretis. Oleh karena itulah, disamping karena basis pesantren adalah masyarakat atau Islam tradisional.

    II.            RUMUSAN MASALAH
a.       Apa yang dimaksud dengan pondok pesantren ?
b.      Bagaimanakah sejarah perkembangannya?
c.       Apakah yang dinamakan pondok pesantren salafiyah?
d.      Apa sajakah karakteristik pondok pesantren salafiyah?
e.       Bagaimanakah sistem pembelajaran pondok pesantren salafiyah?

 III.            PEMBAHASAN
a.     Pengertian Pondok Pesantren
Kata pondok berasal dari kata arab “funduq” yang artinya ruang tidur atau wisma atau hotel sederhana. Sedangkan kata pesantren berasal dari kata santri yang di imbuhi awalan pe- dan akhiran –an yang berarti menunjukkan tempat, maka artinya adalah tempat para santri. Terkadang juga di anggap sebagai gabungan kata santri (manusia baik) dengan suku kata (suka menolong), sehingga kata pesantren dapat berarti tempat pendidikan manusia baik-baik.  Pesantren juga sering disebut dengan “Pondok pesantren” berasal dari kata santri. Menurut Kamus Umum bahasa Indonesia, kata ini mempunyai dua pengertian yaitu orang yang beribadat dengan sungguh-sungguh;orang saleh. Pengertian ini sering digunakan para ahli untuk membedakan golongan yang taat bergama dengan yang tidak taat.[1]
Pesantren juga memiliki dua arti yang dilihat dari segi fisik dan pengertian kultural. Dari segi fisik pesantren merupakan sebuah kompleks pendidikan yang terdiri dari susunan bangunan yang dilengkapi dengan sarana prasarana yang mendukung penyelenggaraan pendidikan. Sedangkan secara kultural pesantren mencakup pengertian yang lebih luas mulai dari system nilai khas yang secara intrinsik melekat di dalam pola kehidupan komunitas santri, seperti kepatuhan pada kyai sebagai tokoh sentral, sikap ikhlas dan tawadhu, serta tradisi keagamaan yang diwariskan secara turun-temurun.
Ada pula yang mengartikan pesantren dengan arti bahwa pesantren merupakan lembaga pendidikan tradisional Islam untuk mempelajari, memahami, mendalami, menghayati, dan mengamalkan ajaran Islam dengan menekankan pentingnya moral keagamaan sebagai pedoman perilaku sehari-sehari.[2]
b.         Sejarah pondok pesantren dan perkembangannya
            Terus terang, tak banyak referensi yang menjelaskan tentang kapan pondok pesantren pertama berdiri dan bagaimana perkembangannya pada zaman permulaan. Bahkan istilah pondok pesantren, kiai dan santri masih di perselisihan.
Terlepas dari itu, karena yang di maksudkan dengan istilah pesantren dalam pembahasan ini adalah sebuah lembaga pendidikan dan pengembangan agama islam di Tanah Air (khususnya jawa) di mulai dan di bawa oleh wali songo, maka model pesantren di pulau jawa juga mulai berdiri dan berkembang bersamaan dengan zaman wali songo. Karena itu tidak berlebihan bila di katakan pondok pesantren yang pertama didirikan adalah pondok pesantren yang didirikan oleh Syekh Maulana Malik Ibrahim atau Syekh Maulana Maghribi.[3]
Bruinessen mengemukakan bahwa asal usul pesantren berasal dari Arab. Menurutnya pola pendidikan pesantren seperti pola pendidikan madrasah dan zawiyah di Timur Tengah. Jika madrasah dimaksudkan lembaga pendidikan diluar masjid, maka zawiyah adalah lembaga pendidikan berbentuk lingkaran mengambil tempat disudut-sudut masjid.[4]
Beberapa rujukan tidak menyebutkan secara pasti tentang sejarah kemunculan pesantren di Indonesia. Namun demikian, dari hasil pendataan Departemen Agama pada 1984-1985 diperoleh informasi bahwa pesantren tertua di Indonesia adalah Pesantren Jan Tanpes II di Pamekasan Madura yang didirikan pada 1062. Informasi ini ditolak  Mastuhu karena Mastuhu menduga pesantren didirikan setelah Islam masuk ke Indonesia.
c.         Pengertian pondok pesantren salafiyah
            Pengertian Tradisional/ salafiyah menunjukkan bahwa lembaga ini hidup sejak ratusan tahun (300-400 tahun) yang lalu dan telah menjadi bagian yang mendalam dari sistem kehidupan sebagian besar umat Islam Indonesiayang merupakan golongan mayoritas bangsa indonesia dan telah mengalami perubahan dari masa ke masa sesuai dengan perjalanan umat bukan tradisional dalam arti tetap tanpa mengalami penyesuaian.
Kata salaf atau salafiyyah itu sendiri diambil dari numenklatur Arab salafiyyun untuk sebutan sekelompok umat Islam yang ingin kembali kepada ajaran Al-Qur’an dan Assunnah sebagaimana praktik kehidupan generasi pertama Islam (Assalafussholeh). Pada waktu itu umat Islam sedang mengalami perpecahan dalam bentuk golongan madzhab tauhid hingga beberapa kelompok. Kelompok salafiyun ini mengaku lepas dari semua kelompok itu dan mengajak semua yang telah terkelompok-kelompok menyatu kembali kepada ajaran Al-Quran dan Assunnah. Penggunaan kata salaf juga dipakai untuk antonym kata salaf versus kholaf. Ungkapan ini dipakai untuk membedakan antara ulama salaf (tradisional) dan ulama kholaf (modern). Tidak selamanya yang salaf berarti kuno manakala ulama mengajak kembali kepada ajaran Al-Qur,an. Seringkali mereka bahkan lebih dinamis dari yang kholaf karena ulama kholaf banyak diartikan juga untuk menggambarkan ulama yang memiliki orientasi ke salafussholeh.[5]
Pondok pesantren salafiyah dapat dipahami sebagai pesantren yang memelihara bentuk pengajaran teks klasik dan pendidikan moral sebagai inti pendidikannya.
Penggunaan kata salaf untuk pesantren hanya terjadi di Indonesia. Tetapi pesantren salaf cenderung digunakan untuk menyebut pesantren yang tidak menggunakan kurikulum modern, baik yang berasal dari pemerintah ataupun hasil inovasi ulama sekarang. Pesantren salaf pada umumnya dikenal dengan pesantren yang tidak menyelenggarakan pendidikan formal semacam madrasah ataupun sekolah. Kalaulah menyelenggarakan pendidikan keagaman dengan system berkelas kurikulumnya berbeda dari kurikulum, model sekolah ataupun madrasah pada umumnya.
Jadi menurut hemat penulis pesantren salaf yakni pesantren yang melakukan pengajaran terhadap santri-santrinya untuk belajar agama islam secara khusus tanpa mengikutsertakan pendidikan umum didalamnya. Kegiatan yang dilakukan biasanya mempelajari ajaran Islam dengan belajar menggunakan kitab-kitab kuning atau kitab kuno (klasik), yang menggunakan metode tradisional seperti hafalan, menerjemahkan kitab-kitab didalam berlangsungnya proses belajar mengajar. Dalam pesantren salaf peran seorang kyai atau ulama sangat dominan, kyai menjadi sumber referensi utama dalam system pembelajaran santri-santrinya.
Pesantren tradisional (salafi) “merupakan salah satu lembaga pendidikan Islam yang sangat diperhitungkan dalam mempersiapkan ulama pada masa depan, sekaligus sebagai garda terdepan dalam memfilter dampak negatif kehidupan modern”. Istilah pesantren tradisional digunakan untuk menunjuk ciri dasar perkembangan pesantren yang masih bertahan pada corak generasi pertama atau generasi salafi.
d.        Karakteristik pondok pesantren salafiyah
a)      Elemen-elemen pondok pesantren salaf
Zamakhsyari Dhofier, (1982:44-45) mengatakan, ada lima unsur pondok pesantren yang melekat atas dirinya yang meliputi: masjid, pondok, pengajaran kitab-kitab Islam klasik, santri dan kiai.[6]
Dalam catatan Nurcholish Madjid ada 4 istilah jawa yang dominan digunakan dipesantren yaitu: santri, kiai, ngaji, dan njenggoti.
-          Santri
Kata santri yang digunakan untuk menunjuk peserta didik di pesantren berasal dari bahasa jawa “cantrik” yang berarti seseorang yang selalu mengikuti guru kemana pun pergi. Seorang cantrik mengikuti guru kemana saja untuk mempelajari ilmu yang dimiliki sang guru.[7] Zamakhsyari Dhofir berpendapat bahwa: “Santri yaitu murid-murid yang tinggal di dalam pesantren untuk mengikuti pelajaran kitab-kitab kuning atau kitab-kitab Islam klasik yang pada umumnya terdiri dari dua kelompok santri yaitu: Santri Mukim yaitu santri atau murid-murid yang berasal dari jauh yang tinggal atau menetap di lingkungan pesantren. Santri Kalong yaitu santri yang berasal dari desa-desa sekitar pesantren yang mereka tidak menetap di lingkungan kompleks pesantren tetapi setelah mengikuti pelajaran mereka pulang.
-            Kiai
Istilah lain yang digunakan untuk menunjuk sang guru dipesantren adalah kiai juga dari bahasa Jawa. Perkataan “kiai’ untuk laki-laki dan “nyai” untuk perempuan digunakan oleh orang Jawa untuk memanggil kakeknya. Kata “kiai” dan “nyai” di sini mengandung pengertian rasa hormat dan terhadap orang tua.
Didunia pesantren dikenal kiai dan guru bantu. Kiai dipahami sebgai pemilik dan pengasuh pondok pesantren yang bertugas mengajarkan pelajaran-pelajaran agama, baik yang pokok maupun tambahan. Diantar yang poko adalah tauhid, fikih dan akhlak. Sedangkan guru bantu biasanya santri yang sudah menempuh pedidikan lama menggantikan sang kyai saad uzur atau halangan. Selain mengajar guru bantu juga menyediakan kebutuhan harian santri, menjadi pengurus harian serta menempatkan santri baru.[8]
-          Pondok
Menurut Manfred Ziemek, kata pondok berasal dari kata funduq (Arab) yang berarti ruang tidur atau wisma sederhana, karena pondok memang merupakan tempat penampungan sederhana bagi para pelajar yang jauh dari tempat asalnya. Bentuk bangunan asrama atau pondok tidak ada pola baku yang didikuti, karena itu bentuk asrama/pondok berbeda anatara satu pesantren dengan yang lain. Dari segi fungsinya, sistem pondok sebagai tempat tinggal para santri sesungguhnya merupakan komponen penting dari tradisi pesantren salafiyah, bahkan menjadi penopang utama bagi pesantren untuk dapat terus berkembang. Dengan sistem pondok ini, para santri merasa terjamin ketersediaan asrama, sehingga mereka tidak merasa kesulitan dari segi tempat tinggal.
-          Masjid
Bagi pondok pesantren, masjid tidak hanya berfungsi sebagai tempat beribadah sebagaimana pada umumnya. Akan tetapi juga berfungsi  sebagai tempat belajar, mendidik para santri. Karena itu masjid merupakan komponen yang tidak dapat dipisahkan dari pesantren. Secara historis masjid merupakan transformasi dari lembaga pendidikan Islam salafiyah.
-          Pengajian Kitab Islam klasik
Pengajian kitab-kitab Islam klasik atau yang biasa disebut kitab kuning di pesantren sebenarnya upaya mentransfer literatur-literatur Islam klasik dan sebagai sarana membekali para santri dengan pemahaman warisan keilmuan masa lampau atau jalan kebenaran menuju kesadaran erotis ihwal status kehambaan/ubudiyah di hadapan Allah.[9]
Istilah lain yang kerap berhubungan dengan pesantren salafiyah ayakni ngaji atau njenggoti, biasa disebut juga dengan “ngabsahi”. Kata “ngaji” digunakan untuk menunjuk kegiatan santri dan kiai dipesantren berasal dari kata “aji” yang berarti terhormat dan mahal. Kata “ngaji” biasanya digandengkan dengan kitab:”ngaji kitab” diartikan sebagai kegiatan santri pada saat mempelajari kitab yang berbahasa Arab. Oleh karena banyak yang belum mengerti bahasa Arab maka kiai menerjemahkan kata perkata dengan menggunakan bahasa Jawa. Para santri mengikuti dengan cermat terjemahan sang kiai dan mereka mencatat nya di bawah lafadz yang dibacakan oleh kyai biasanya disebut dengan Arab pegon. Disebut njenggoti karena menggantung seperti janggut pada kata yang diterjemahkan.[10]
Dengan kata lain, pengajaran kitab Islam klasik merupakan salah satu cara yang ditempuh oleh pesantren untuk membekali para calon ulama akan ilmu keislaman yang kelak akan ditransfer kepada masyarakat secara lebih luas.
Adapun kitab klasik yang biasanya diajarkan di pondok pesantren salaf menurut Nurcholis Madjid digolongkan menjadi 7 kelompok yaitu: tauhid, akhlak, sintaksis (Nahwu) dan sorof (morfologi), fikih, hadis, dan Bahasa Arab. Selain itu, Dhofier menambahkan satu kelompok yaitu cabang-cabang kitab tarih dan balaghah. [11]

b)      Sistem pendidikan pondok pesantren salafiyah
Sistem pendidikan di pesantren salafiyah berbeda dengan sistem pendidikan madrasah maupun ponpes modern pada umumnya. Pesantren salafiyah tumbuh sebagai pusat belajar pendidikan agama yang unik, seperti pengantar pengajarannya menggunakan kitab kuning dijelaskan dengan bahasa lokal, memegang teguh tradisi adat istiadat, norma serta nilai khas pesantren. Dengan demikian bahasa lokal memiliki pengaruh kuatnya nilai  pesantren.
Peran kiai dengan karisma keilmuan yang dimiliki sekaligus pewaris para nabi merupakan bagian integral dalam pendidikan pesantren. Karena kiai merupakan penentu dalam pendidikan di dalam pondok pesantren salafiyah.[12]
Adapun metode pembelajaran yang lazim digunakan dalam pondok pesantren salaf adalah metode sorogan dan weton. Metode sorogan adalah metode pengajaran individual, dimana setiap santri menghadap secara bergiliran kepada kyai atau pembantu kyai untuk membaca, menjelaskan dan menghafal pelajaran yang diberikan sebelumnya. Dengan metode ini, kyai mengetahui betul kemampuan santrinya. Metode sorogan ini biasanya diperuntukkan untuk santri yang cukup maju, khususnya yang berminat menjadi kiai dan ulama. Sedangkan weton adalah pembelajaran berkelompok, dimana kyai membaca, menjelaskan. Pada saat proses pembelajaran santri bergerombol duduk mengelilingi sang kyai atau duduk agak jauh dari sang kyai agar suara sang kyai dapat terdengar.
Pada umumnya pondok pesantren salafiyah lebih condong menganut faham Syafi’iyah Asy’ariyah. Dilihat dari kitab dan ajaran fikih tauhid yang diajarkan para kyai kepada santri.

 IV.            ANALISIS
Seringkali proses belajar mengajar di pesantren tradisional/salafiyah tidak mengalami dinamika dan tidak memperhitungkan waktu, strategi, metode yang lebih kontekstual dengan perkembangan zaman. Padahal seiring berkembangnya zaman santri membutuhkan formalitas-sebutlah ijazah serta penguasaan bidang keahlian tertentu yang dapat mengantarkannya agar mampu menjalani kehidupan. Di era modern santri tidak hanya bermodal nilai dan norma moral saja, tetapi perlu skill yang mumpuni agar menjadi bekal di masa depan.
Tidak ada nya perkembangan metode dalam pembelajaran membuat santri berpaku pada metode tertentu. Sehingga ketika sudah selesei hanya dapat menerapkan metode tertentu saat terjun pada sekolah atau madrasah.
Konsep kurikulum yang tidak tertata rapi sehingga keterserapan lulusan pondok pesantren salafiyah kurang dibandingkan pondok pesantren modern.
Kelebihan belajar di pesantren salaf yaitu adanya budaya tadzim pada kiai dan patuh segala apa yang diajarkan oleh kiai. Sekiranya itu merupakan hal yang baik.  Karena pesantren salafiyah lebih menonjol pada pendidikan agama dan akhlaknya, maka pesantren ini kurang mempersiapkan para santri menghadapi isu-isu sosial yang lebih luas dalam suatu masyarakat yang semakin berubah.
Pola pendidikan akhlak dan kedisplinan yang diterapkan di pesantren berpengaruh kuat pada tingkah laku para santri ketika sudah selesai proses belajarnya.
Rasa persaudaraan maupun silaturahmi anata santri dan kiai terbangun sangat baik meskipun para santri sudah lulus dari pondok pesantren. Meskipun sang kiai sudah wafat. Hal itu dibuktikan saat diadakan haul maupun acara akhirusannah. Karena karomah dan barokah sang kiai bagi santri salaf adalah suatu bakti bagi santri.
Tradisi  pesantren salafiyah mengenal dua kelompok santri, yaitu kelompok santri muqim dan santri kalong. Dikatakan santri muqim karena snatri menetap di pesantren selama masa belajar sedangkan santri kalong tidak menetap di pondok. Santri kalong biasanya berasal dari desa-desa sekitar  pondok.
Dikalangan santri salafiyah masih berlaku budaya tawadhu’ dan mohon restu terhadap kyai. Mereka tidak bisa melepaskan diri dari identitas budaya santri yang ikhlas, tawadhu’, zuhud dan wara’. Demgan begitu mereka menempatkan kyai pada posisi yang dihormati. Karena berkeyakinan sepenuhnya bahwa seorang kyai memiliki kecendekiawanan tinggi, intelektual yang memadai dan akhlak yang mulia.
Pada kebanyakan pondok pesantren salafiyah tidak diadakannya ujian masuk pesantren, hanya pesantren tertentu saja yang berskala besar yang mengadakannya. Sedangkan hal itu sangat berguna untuk mengetahui perbedaan tingkat kecerdasan santri pada awal masuk pondok. Sehingga pada penempatan kelasnya sesuai.
    V.            KESIMPULAN
Kata pondok berasal dari kata arab “funduq” yang artinya ruang tidur atau wisma atau hotel sederhana. Sedangkan kata pesantren berasal dari kata santri yang di imbuhi awalan pe- dan akhiran –an yang berarti menunjukkan tempat, maka artinya adalah tempat para santri mencari ilmu atau mendapatkan pelajaran dari kyai.
Ada pula yang mengartikan pesantren dengan arti bahwa pesantren merupakan lembaga pendidikan tradisional Islam untuk mempelajari, memahami, mendalami, menghayati, dan mengamalkan ajaran Islam dengan menekankan pentingnya moral keagamaan sebagai pedoman perilaku sehari-sehari.
Beberapa rujukan tidak menyebutkan secara pasti tentang sejarah kemunculan pesantren di Indonesia. Namun demikian, dari hasil pendataan Departemen Agama pada 1984-1985 diperoleh informasi bahwa pesantren tertua di Indonesia adalah Pesantren Jan Tanpes II di Pamekasan Madura yang didirikan pada 1062. Informasi ini ditolak  Mastuhu karena Mastuhu menduga pesantren didirikan setelah Islam masuk ke Indonesia.
Kata salaf atau salafiyyah itu sendiri diambil dari numenklatur Arab salafiyyun untuk sebutan sekelompok umat Islam yang ingin kembali kepada ajaran Al-Qur’an dan Assunnah sebagaimana praktik kehidupan generasi pertama Islam (Assalafussholeh). Pesantren Salaf yakni pesantren yang melakukan pengajaran terhadap santri-santrinya untuk belajar agama islam secara khusus tanpa mengikutsertakan pendidikan umum didalamnya. Kegiatan yang dilakukan biasanya mempelajari ajaran Islam dengan belajar menggunakan kitab-kitab kuning atau kitab kuno (klasik), yang menggunakan metode tradisional seperti hafalan, menerjemahkan kitab-kitab didalam berlangsungnya proses belajar mengajar
Zamakhsyari Dhofier, (1982:44-45) mengatakan, ada lima unsur pondok pesantren yang melekat atas dirinya yang meliputi: masjid, pondok, pengajaran kitab-kitab Islam klasik, santri dan kiai. Dalam catatan Nurcholish Madjid ada 4 istilah jawa yang dominan digunakan dipesantren yaitu: santri, kiai, ngaji, dan njenggoti.
Sistem pendidikan di pesantren salafiyah berbeda dengan sistem pendidikan madrasah maupun ponpes modern pada umumnya. Pesantren salafiyah tumbuh sebagai pusat belajar pendidikan agama yang unik, seperti pengantar pengajarannya menggunakan kitab kuning dijelaskan dengan bahasa lokal, memegang teguh tradisi adat istiadat, norma serta nilai khas pesantren. Dengan demikian bahasa lokal memiliki pengaruh kuatnya nilai  pesantren. Metoee pembelajaran yang dipakai metode halaqah/ sorogan dan metode weton.
Demikian makalah yang kami buat. Kami sadar banyak terdapat kekurangan baik dari penulisan maupun redaksi dalam pembuatan makalah. Untuk itu, kritik dan saran yang konstuktif dari pembaca sangat kami harapkan.sebagai perbaikan pada makalah selanjutnya. Semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua. Amin





[1] Nurcholish Madjid, Bilik-Bilik Pesantren sebuah Potret perjalanan, ( Jakarta: Paramadina, 1997), hlm.19-21
[2] Mastuhu,  Dinamika sistem pendidikan Pesantren , (Jakarta:INIS,1994), hlm.55
[3] Wahjoetomo. Perguruan Tinggi Pesantren. (Jakarta : Gema Insani Press, 1997). hlm 70
[4] Martin Van Bruinessen, Kitab Kuning, Pesantren, dan Tarekat: Tradisi-tradisi Islam di Indonesia (Bandung: Mizan,1995),hlm. 22
[5] Sulthon masyhud, Khusnur Ridho, Manajemen Pondok Pesantren,(Jakarta:Diva Pustaka, 2003), hlm. 7
[6] Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren Studi tentang Pandangan Hidup Kyai, (Jakarta: LP3S,  1983), hlm.18.
[7] Abdullah Aly, Pendidikan Islam Multikultural di Pesantren, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011), hlm.151-152
[8] Karel Steenbrink, Pesantren, Madrasah, dan Sekolah Pendidikan Islam dalam kurun Modern,  (Jakarta: LP3ES,1986), hlm. 14
[9] Said Aqiel Siraj, Pesantren Masa depan: wacana Pemberdayaan dan Transformasi pesantren, (Bandung: Pustaka Hidayah,1999), hlm. 16-17
[10] Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia (Jakarta: Mutiara, 1979), hlm. 53-55
[11] Nurcholish Madjid, Bilik-Bilik Pesantren, hlm. 7-11
[12] Rohinah, KH. Hasyim Asy’ari memodernisasi NU dan Pendidikan Islam, (Jakarta: Grafindo Khazanah Ilmu, 2010), hlm.89

Tidak ada komentar:

Posting Komentar